Bunyi shutter yang ditekan terdengar beberapa kali. Diafragma mengedip. Blitz tak difungsikan karena cahaya matahari sudah cukup terang. Si fotografer hanya perlu mengatur ISO agar cahaya yang masuk tak berlebihan. Kamera hitam itu menangkap gambar relief yang terukir pada dinding candi. Beberapa dari relief tersebut berwarna keputihan. Beberapa lainnya berwarna hitam. Gadis itu mendekatkan wajah. Mengamati lekuk-lekuk relief yang membentuk gambar. Jemarinya meraba lekukan relief yang menarik atensi. Menyadari bahwa gambar-gambar itu membentuk cerita yang maknanya tak ia ketahui.
Bunyi shutter kembali terdengar. Kali ini menangkap gambar barisan stupa yang berjajar. Stupa-stupa berwarna abu-abu kehitaman itu menarik atensi si pengambil gambar. Gadis itu mendekatkan wajahnya pada salah satu stupa. Mengintip celah berbentuk jajar genjang untuk melihat apa yang ada di dalamnya.
Wajahnya yang putih kini kemerahan karena tersengat matahari negara tropis. Namun gadis itu tak terlihat terganggu sama sekali. Ia masih menikmati bangunan yang pernah masuk 7 keajaiban dunia, yang juga destinasi utamanya hari ini. Bangunan yang telah dibangun sejak tahun 750 Masehi. Yang membuatnya penasaran sejak beberapa tahun lalu.
Gadis dengan topi lebar berwarna putih itu kembali menjelajahi candi yang untung saja tak terlalu ramai pengunjung. Membuatnya senang karena bisa mengambil gambar dengan lebih leluasa. Tanpa perlu susah-susah mengatur angle agar tak menangkap gambar orang yang berlalu-lalang. Kakinya menapaki tangga batu yang tak terlalu lebar. Tangga itulah yang membawanya ke bagian candi yang lebih tinggi, namun dengan diameter lingkaran yang lebih sempit. Dari tempat yang tinggi ini, ia bisa melihat pemandangan dengan lebih luas.
"Di Magelang, ada candi yang sangaaattt besar. Candi ini, adalah candi Buddha terbesar di dunia. Dad pernah kesana beberapa kali. Dan selalu saja kagum dengan kemegahannya."
"Dad sudah berkali-kali menceritakan tentang candi itu. Tapi kapan mau mengajakku kesana?"
Pria dengan beard di wajahnya itu tertawa terbahak. Putrinya cemberut dengan bibir tertekuk. Membuatnya nampak seperti anak kecil yang tengah merajuk. Padahal kini ia telah beranjak remaja. Meskipun di matanya, anak perempuan ini selalu menjadi bayi kecil yang lucu.
"Dad, aku sudah di sini," bisik Diandra entah kepada siapa. Bisikannya itu hanya dibalas embusan angin tenang yang seolah menghibur karena yang diajak bicara tak bisa mendengar suaranya.
Ponsel yang sejak tadi bersembunyi di saku celana tiba-tiba berdering. Diandra sedikit tersentak karena sejak tadi ia terlalu serius memperhatikan pemandangan yang terhampar di depannya. Suara teriakan terdengar keras bahkan sebelum ia mengucapkan 'hallo'. Terdengar histeris. Bercampur dengan kemarahan. Teriakan wanita itu berpadu dengan suara bass yang menyuruhnya berhenti. Diandra sampai bingung sendiri.
"Ann! Kapan kamu mau pulang? Sudah tiga hari! Kamu mau melawan Mum?"
Diandra menjauhkan ponselnya dari telinga. Namun suara Mum masih bisa ia dengar karena saking kerasnya. Diandra meneguk ludah. Tenggorokannya tiba-tiba tercekat.
"Mum, I 've said I will be here, maybe for a long time." Gadis itu berujar pelan. Tak mau membalas teriakan Mum dengan teriakan pula.
"How dare you, Ann!"
"Mum, stop please!" ujar suara kakaknya di seberang sana.
Lalu terdengar suara tamparan. Yang seketika membuat Diandra menegang sesaat. Sebelum kemudian suara Mum kembali terdengar. Masih dengan teriakan dan nada tinggi yang tak menurun sama sekali.
"Stay away, Ansel!"
"Go back home, now!"
Perintah itu disusul suara bantingan. Ada hening selama beberapa saat sebelum suara berganti. Kini suara kakaknya yang terdengar.
"Hey, how is it going?"
"Good enough. How about you? Kayaknya ditampar lagi ya sama Mum"
Diandra terkikik pelan. Namun air mata menetes dari netranya yang berwarna kecoklatan. Di seberang sana, kakaknya juga tertawa kecil. Jenis tawa yang terdengar miris. Menertawakan keadaan.
"Kedengaran ya?"
"Kakak ... baik-baik aja?" tanya gadis itu pelan.
"I'm good. It's just a slap."
"No. I-I mean suara kakak kedengaran capek."
pendapatnya itu dijawab dengan kekehan kecil. Diandra tahu betul. Mengurus Mom yang 'gila' memang tidak mudah. Biasanya, mereka bertiga, Diandra, Ansel dan Danish -kakak tertua mereka- bergantian menjaga Mum. Namun kini, hanya ada Danish dan Ansel saja. Tentu tugas mereka lebih berat. Apalagi Ansel tengah menyelesaikan pendidikan spesialisasi kejiwaannya. Sedangkan Danish, harus bekerja, menggantikan peran sang kepala keluarga. Itulah yang awalnya membuat Diandra ragu untuk pergi ke Indonesia. Selain membutuhkan biaya yang besar, ia juga harus meninggalkan Mum untuk beberapa waktu.
"Don't worry about me. We're good. Cepat selesaikan urusanmu dan kembali ke Inggris. Jangan lupa sampaikan salam buat dia."
"Kakak nggak mau ketemu juga?"
"Hmm ... ya ..., nanti kami menyusul ke Indonesia. If you've found him."
Kalimat itu terdengar ragu. Diandra tahu.
"Okay. Take care. Send my love for Mum. Kak Danish as well."
Sambungan telepon terputus setelah keduanya sama-sama mengucapkan, "bye." Diandra menghembuskan nafas keras. Tiba-tiba matahari terasa lebih panas. Panas yang ia rasakan bukan dari sinar matahari yang menyengat. Namun karena pikirannya yang penuh oleh rasa khawatir tentang kondisi Mum.
Ia juga jadi merasa bersalah dengan kakak-kakaknya. Siapa yang membuatkan mereka makanan jika ia tak ada? Makanan yang mereka buat selalu berakhir di tempat sampah. Semoga mereka tak kehilangan berat badan ketika bertemu dengan Diandra nanti.
Diandra merasa seperti orang bodoh yang tak tahu apa yang harus dilakukan setelah ini. Juga tak tahu harus ke mana. Indonesia luas, ia tahu betul. Entah butuh berapa tahun untuknya menjelajahi negara ini. Sedangkan egonya mengharuskan Diandra untuk datang dan mencari apa yang ia inginkan hingga dapat. Tanpa alamat, tanpa petunjuk. Hanya gambling.
Beruntung, gadis itu bisa berbahasa Indonesia dengan lancar. Dad membuat peraturan kalau Diandra dan anak-anaknya harus memakai bahasa Indonesia di rumah. Meski terkadang terbelit dan salah ucap menggunakan bahasa Inggris.
Bahasa yang lancar, satu-satunya modal yang ia punya. Semoga bisa membantu.
Diandra meneguk sebotol minuman dingin yang baru saja ia beli. Di depannya, beberapa orang penjaja souvenir duduk berjajar sambil bersenda gurau. Miniatur candi Borobudur berbagai ukuran berjajar di atas papan yang mereka bawa. Tak hanya miniatur candi Borobudur. Namun juga miniatur berbentuk wayang, atau Tugu Jogja. Ada yang hanya miniatur saja, miniatur yang dilapisi kaca, atau dibalut resin. Diandra tersenyum miring. Mereka menjual barang yang sama. Namun saling menghargai satu sama lain. Tak ada persaingan. Mereka benar-benar berhati lapang.
Kira-kira, apa pekerjaanya sekarang? Apa masih memotret?
Diandra mengalihkan pandangan. Candi Borobudur benar-benar nampak megah dari tempatnya duduk. Beberapa orang yang sedang menjelajahi candi itu nampak kecil. Bak semut yang berbaris. Benar kata Dad. Candi ini benar-benar luar biasa. Dengan segala keindahan arsitekturnya, kerumitan struktur bangunan yang membuat bingung ilmuwan karena dianggap mustahil dibangun di jaman itu, hingga segala teori konspirasinya.
***Hi! This is the first time I add an author's note.
I hope you enjoy this story, guys. This is the most complicated story I've written this far. I did a lot of research (I'm sorry if I still made mistakes). I read some journals and articles. Also, put a ton of details.
This story won't be perfect. But I need you to make it better. I need your critics and comments. If you find typo, plot hole or anything, feel free to say!
Thanks! Have a nice day.
192021
KAMU SEDANG MEMBACA
Find
RomanceDiandra pikir, Dad hanya akan pergi sebentar, kemudian kembali dengan membawa banyak hadiah seperti biasa. Namun ternyata, ia tak kembali bahkan setelah delapan tahun berlalu. Membuat gadis itu mencarinya ke Indonesia, dimana Dad berasal. Kemudian m...