42

156 21 14
                                    

Kondisi Yudhis yang labil benar-benar membuat Azka frustasi. Pagi itu, ia menemukan sang kakak dalam keadaan menggigil dengan suhu tubuh yang tinggi. Darah keluar dari hidung bangirnya, hingga mengotori bantal. Ia menduga kalau Yudhis kelelahan setelah menghadiri wisudanya. Sesungguhnya, pria itu memang masih harus banyak istirahat.

Azka merutuki diri sendiri dalam hati. Merasa bersalah karena tak berhasil melarang Yudhis untuk tetap tinggal di rumah sakit. Namun ada sedikit syukur, karena kemarin ia memutuskan untuk menginap di kost kakaknya. Sehingga ia bisa memberikan pertolongan dengan lebih cepat.

Saat itu juga, Azka merasa bahwa ia sudah tidak bisa mengulur waktu untuk menghubungi Ibu. Maka untuk pertama kali setelah sembilan tahun berlalu, ia menghubungi Ibu lebih dulu. Ada jeda panjang sebelum panggilannya terangkat. Bahkan setelah terhubung pun, Ibu seolah membeku. Hingga Azka yang harus mengatakan , "halo," terlebih dulu.

Tanpa basa-basi, segala cerita selama empat tahun ini mengalir dari bibir merah pemuda itu. Empat tahun sudah Yudhis menderita penyakit langka. Penyakit yang bersifat progresif. Berhasil merubah kakaknya menjadi semakin lemah dari hari ke hari.

Derai tangis langsung memenuhi telinga. Azka pun tak mampu lagi menahan luapan emosi yang turut membuat mereka membiru. Kondisi Yudhis yang tak baik belakangan ini membuat Ibu dengan mudah memutuskan untuk segera terbang ke Jogja. Segala pekerjaan, atau urusan apapun itu ia tinggalkan begitu saja. Hanya Yudhis yang ada di dalam pikirannya.

Merasa bersalah dengan sang putra tertua. Harusnya kala itu ia tak membiarkan Yudhis pergi ke Jogja. Lepas dari pengawasannya. Cinta telah membutakan mata hati. Merubah seorang Ibu menjadi manusia yang egois.

"Mas Yudhis makan ya? Sedikit aja." Ibu membujuk sang putra sulung untuk makan. Yudhis lagi-lagi menggeleng. Suara pintu yang terbuka menginterupsi. Azka yang baru datang mengalihkan perhatian Ibu.

"Azka kok udah pulang?"

Azka menggeleng, "habis ini aku balik lagi ke kantor, jam makan siang hampir habis." Azka menoleh ke arah Yudhis, "masih belum mau makan?"

"Marahin tuh, Dek." Ibu mengadu.

Azka menyerahkan kebab yang ia bawa. Sejak kemarin, Yudhis sulit makan. Jadi ia akan bujuk dengan kebab kesukaannya, "tolong suapin pakai ini, Bu. Mas Yudhis suka."

Azka merasa begitu canggung dengan Ibu. Namun ia harus tetap bertahan dalam kondisi ini. Perlahan, ia juga mulai membuka diri. Berusaha memaafkan Ibu seperti yang dikatakan Yudhis.

Toh, Om Wira sudah pergi. Ia bahkan sangat senang Ibu ada di sini. Ibu mencurahkan waktu sepenuhnya untuk sang kakak. Ia rela meninggalkan pekerjaannya untuk menjaga Yudhistira ketika Azka bekerja. Azka jadi sedikit lebih fokus ketika berada di kantor. Tak begitu takut jika Yudhistira membutuhkan bantuan namun tidak ada orang di sekitar.

Ibu meletakkan makanan rumah sakit yang hambar di atas meja. Kemudian membuka kemasan kebab yang dibawa Azka. Sedangkan Azka mendudukan diri di kursi. Masih ada beberapa saat sebelum ia harus kembali ke kantor.

"Mas, Bu, gimana kalau kita pindah ke Semarang aja?" keduanya menoleh ke arah Azka. Yudhis mengernyit heran, "aku dimutasi ke kantor cabang di sana. Aku juga merasa, rumah di Semarang adalah tempat paling bagus buat pemulihannya Mas Yudhis. Kita bisa tinggal lagi di sana. Bertiga."

Azka tahu Yudhis selalu merindukan rumah. Ada banyak kenangan di sana. Disana, mereka selalu merasa dekat dengan Ayah. Di sana, ada memori ketika keluarga mereka masih utuh dan baik-baik saja. Semua itu tergambar dalam buku sketsa Yudhis yang ia lihat. Gambarnya ketika sedang bermain dengan Muffin seolah juga mengatakan hal yang sama. Sudah lama sekali semenjak terakhir mereka tidur di rumah Semarang. Azka pun ingin kembali ke sana. Entah bagaimana kerja takdir, kantornya memindahkan Azka untuk memimpin cabang di Semarang. Membuat Azka merasa bahwa inilah yang mereka butuhkan.

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang