19

164 22 23
                                    

"Mas Yudhis!" pria bermata minus itu baru saja membuka ruang konsultasi. Wajah panik Asha adalah yang pertama ia lihat. Gadis itu berjalan cepat ke arahnya. Seolah sejak tadi memang ingin bertemu.

Yudhis memandang Asha bingung. Entah apa yang membuatnya terlihat begitu panik. Gadis dengan rambut diikat satu itu langsung memegang kedua lengannya. Yudhis bisa melihat kedua mata sang gadis melebar menatapnya. Asha kemudian berujar dengan berbisik, "Naya bunuh diri."

Untuk beberapa saat, Yudhis tercekat. Saluran nafasnya seolah menyempit dalam sedetik. Sehingga membuat pria itu kesulitan untuk bernafas. Saat ini, Yudhis benar-benar berharap telinganya salah dengar. Atau kalau tidak, Yudhis benar-benar berharap saat ini ia sedang bermimpi. Namun cengkraman tangan Asha di lengannya seolah menyadarkan kalau ini dunia nyata. Asha juga tak salah bicara.

"Kenapa?" tanyanya dengan terbata. Seolah ingin memastikan sekali lagi.

"Naya, bunuh diri. Ditemuin sama Maminya tadi pagi. Pak Hanif ajak kita ke rumah Naya buat melayat satu jam lagi."

Yudhistira melemas. Kertas-kertas tes di tangannya terjatuh. Seiring dengan genggaman tangannya yang mengendur. Dia telah gagal. Yudhis telah gagal menyelamatkan Naya. Harusnya kala itu ia sadar kalau Naya telah menunjukkan tanda-tanda ingin mengakhiri hidup. Goresan di tangannya, seharusnya membuat Yudhis bertindak lebih cepat dan tepat.

Asha berjongkok. Membantu sang partner yang nampak shock untuk mengumpulkan lagi lembaran-lembaran alat tes yang berserakan di lantai. Dengan cekatan mengumpulkan kertas-kertas itu menjadi satu jalinan yang rapi.

"Makasih, Sha," desis Yudhis yang nampak mati-matian menguasai diri. Ia menerima kertas-kertas tes yang ia jatuhkan dari Asha. Gadis itu mengangguk, lalu pamit untuk bersiap.

Tiba-tiba rasa percaya dirinya lenyap tak bersisa. Apa ia masih bisa melanjutkan untuk menjadi psikolog? Apa ia bisa bertanggung jawab terhadap semua clientnya? Sekarang, Yudhis masih menjadi asisten. Masih ada Pak Hanif yang mengambil alih pekerjaannya apabila Yudhis belum mampu. Namun nanti, ketika ia telah menjadi seorang psikolog, ia harus mampu mengerjakan pekerjaannya sendiri. Dengan tanggung jawab yang lebih berat pula tentunya.

Yudhis telah menyelesaikan studi magister profesi. Pria itu sudah membaca banyak jurnal dan buku. Telah mengikuti seminar, kursus dan pelatihan. Juga telah terbiasa menangani klien. Namun karena kasus Naya ini, seolah semua ilmunya hilang tak bersisa. Yudhistira tiba-tiba merasa kalau ia tak memiliki kemampuan sama sekali. Naya adalah kegagalannya.

Pada akhirnya, tiba saat dimana ia duduk di antara pelayat. Pria itu menatap foto Naya yang diletakkan di depan peti. Karangan bunga di sisi kanan dan kiri. Krisan putih, perlambang kematian. Yudhis menghela napas. Wajah tersenyum Naya di dalam foto itu membuatnya merasa bersalah. Naya seolah menatap Yudhis. Mengatakan kalau Yudhis tak memenuhi ekspektasinya untuk sembuh dari depresi berat yang membuat gadis itu tersiksa.

Yudhis tahu jelas, bahwa dalam pengobatan depresi, bukan hanya tenaga kesehatan mental yang ambil peran. Keluarga atau significant others dari client juga sangat berperan penting. Suatu hal di luar kuasanya. Meskipun sudah berkali-kali ia berusaha memberi pengertian soal ini. Mungkin seperti yang dikatakan Naya, orang tuanya terlalu sibuk dan acuh. 

Tapi Yudhis tetap menyalahkan diri sendiri. Harusnya, ketika melihat lengan Naya yang terluka karena sayatan yang ia buat sendiri, Yudhis bisa lebih cepat mengambil tindakan. Menyarankan gadis itu untuk melakukan hal lain sebagai pelampiasan emosi. Entah menggambar, atau apapun itu. Seharusnya, saat itu Yudhis juga mengatakan kepada walinya bahwa Naya harus selalu didampingi. Supaya tidak terjadi hal-hal seperti ini. 

Saat itu, Yudhis pikir Naya hanya berterimakasih. Sedangkan konsultasi mengenai depresinya, akan dibicarakan dengan Pak Hanif. Jadi Yudhis pikir tak perlu bertanya tentang hal-hal yang belum dibuka oleh Naya. Kini ia merasa begitu bersalah. Pada akhirnya, Yudhis juga hanya manusia biasa. Bukan dewa penyembuh.

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang