"Yeay! Mau kemana kita hari ini?" Diandra melompat ke jok motor Yudhis dengan ceria. Helm bermotif sapi yang dibelikan Yudhis sudah terpasang di kepala.
Melihat tingkah gadis itu, Yudhis ikut tertawa. Wajah Diandra begitu berbinar. Hingga seolah menyangi mentari pagi ini. Membuat hatinya semakin berbunga.
Hari ini, ia mengajak Diandra untuk merayakan resminya ia menjadi psikolog klinis. Nampaknya Fortuna memang sedang berpihak kepadanya. Lamarannya sudah diterima salah satu rumah sakit swasta. Bahkan sudah mulai bekerja sejak dua minggu lalu. Tuhan memang selalu punya kejutan untuk hamba-Nya.
"Coba tebak!" Yudhis masih membiarkan mesin motornya panas terlebih dahulu.
Keduanya menoleh kala mendengar suara decit pagar. Disana, Azka keluar sambil menuntun motornya. Dengan mata terbelalak dan mulut membulat, gadis itu berseru, "Azka, itu motor kamu?"
"Ya." Azka menjawab singkat sambil naik ke atas motornya.
"Kamu yang hampir nabrak aku di pertigaan depan ya?" Diandra bersungut-sungut.
"Maaf," Azka menjawab singkat. Ia ingat kala itu memacu motornya dalam keadaan marah karena Yudhis membahas soal Ibu. Lalu, hampir menabrak gadis yang kini menjadi kekasih kakaknya. Terkadang semesta memang suka bercanda.
"Azka...," Yudhis memperingati. "Awas kamu, kalau gak hati-hati lain kali."
Azka diam saja. Kemudian Yudhis menoleh ke arah penumpang di belakangnya, "aku minta maaf atas nama adikku, ya?"
Azka bergidik geli. Sepertinya ia tak pernah bersikap terlalu manis hingga membuat jijik seperti itu. Azka akan tetap stay cool. Tapi kenapa kakaknya yang terkenal dewasa, bisa merubah bak remaja baru mengenal cinta? Asmara begitu memabukkan, hingga bisa merubah kepribadian.
Bahkan tatapan mata Yudhis terlihat begitu memuja kekasihnya. Penuh binar, seolah memandang seorang dewi. Mungkin Azka berlebihan. Namun ia rasa, cinta Yudhis kepada Diandra juga sama berlebihannya. Kakaknya nampak seperti orang yang tergila-gila.
Azka sebenarnya tak masalah. Ia bahagia jika Yudhis menemukan bahagianya. Namun gadis itu..., entahlah. Azka tak yakin. Ada sesuatu yang mengganjal soal Diandra. Meskipun hal itu masih ia pikirkan hingga kini. Juga soal perbedaan keyakinan di antara mereka. Semoga saja Yudhis tidak nekat untuk melangkah lebih jauh.
"Mas sama Mbak Diandra mau ke pantai Drini. Kamu sama Hayu boleh nyusul kalau mau." Azka mengangguk. Kemudian berpamitan dan melajukan motornya lebih dulu.
***
Suara kayu yang bergesekkan terdengar kala sepasang kekasih itu berlari kecil di atasnya. Jembatan kayu itu untungnya cukup kuat. Sehingga mereka tak perlu merasakan basahnya air laut.
Kedua tangan mereka saling bertaut. Dengan semangat, meniti batuan karang untuk sampai di puncak bukit. Dari sini, angin semilir benar-benar terasa. Pantai berpasir putih terbentang luas di hadapan mereka. Ombak menepi di pantai. Yang langsung disambut riang oleh anak-anak kecil yang bermain air. Bukit hijau membentang panjang. Berlatar langit biru dan awan yang bersih.
"Mau ke sana?" tawar Yudhis. Diandra mengangguk semangat. Mereka berjalan semakin jauh. Kemudian semakin terpesona dengan luasnya samudra yang terhampar di depan mereka. Berwarna biru kehijauan. Dengan garis putih, kala ombak menepi. Kilauan cahaya matahari memantul di atas riak-riak airnya.
Di bawah gazebo beratapkan rumbia, mereka melepas lelah. Sambil menenggak sebotol air mineral dingin. Menyingkirkan dahaga di tengah panasnya pantai di siang hari. Menikmati kicauan burung. Menggantikan deru kendaraan dan berisiknya klakson yang biasa mereka dengar sehari-hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Find
RomanceDiandra pikir, Dad hanya akan pergi sebentar, kemudian kembali dengan membawa banyak hadiah seperti biasa. Namun ternyata, ia tak kembali bahkan setelah delapan tahun berlalu. Membuat gadis itu mencarinya ke Indonesia, dimana Dad berasal. Kemudian m...