Goresan-goresan pensil itu awalnya tak beraturan. Namun semakin lama semakin membentuk sebuah gambar. Membentuk gambar seorang pria dengan rambutnya yang mencapai bahu. Nampaknya, itu gambar seorang pria paruh baya. Karena si pelukis juga menggoreskan pensilnya tipis-tipis untuk menggambarkan kerutan di wajah sang pria.
Pria dalam gambar itu mengulaskan senyum lebar. Gigi-giginya nampak dari bibir yang terbuka. Nampak hangat dan tenang. Si pelukis tersenyum tipis. Senyum pria yang digambarnya masih ia ingat dengan jelas. Bagaimana ia bisa lupa? Bagaimana ia bisa lupa jika pria itu hampir tak pernah membiarkan sudut-sudut bibirnya tidak tertarik. Entah apapun kondisinya. Entah sehancur apa hatinya. Pria dalam lukisannya begitu lihai menyembunyikan perasaan di hadapan anak-anaknya. Seolah hanya ada satu emosi yang ada pada dirinya. Bahagia.
Ayah selalu nampak tenang. Tak pernah marah pada sang pelukis atau adiknya. Seberapapun nakal mereka, Ayah hanya akan menasihati dan memberitahu mengapa mereka tak boleh melakukan itu. Bahkan ketika hubungan Ayah dengan Ibu memburuk, tak sedikitpun Ayah melampiaskan kemarahan kepada anak-anaknya. Dia tetap berlakon seolah semua baik-baik saja.
Harusnya Ayah jadi aktor! Ya, tidak seharusnya Ayah jadi seorang pegawai bank. Ia lebih patut bermain drama di atas panggung sandiwara daripada bergelut dengan uang-uang itu.
Tiba-tiba pintu kamar kos yang berada tepat di depannya terbuka. Membuat si pelukis mengangkat wajah dari sketchbook yang sejak tadi menjadi pusat perhatian. Sesosok laki-laki muda berusia awal 20-an memandangnya dengan wajah sedikit terkejut. Keterkejutan yang berusaha disembunyikan mati-matian. Kemudian raut wajah itu berubah menjadi datar dan dingin seperti biasa.
"Sakit lagi?" ujar laki-laki itu dingin sambil menutup pintu. Seolah hanya basa-basi tanpa peduli. Si pelukis tersenyum tipis.
"Cuma kecapekan. Kamu ngapain kesini?"
"Numpang tidur, kaya biasa." Sahut si pria muda sambil melepaskan tas ransel serta jaket yang sejak tadi memeluknya. Setelah itu membilas tangan dan kaki di kamar mandi. Kemudian merebahkan tubuh tinggi nan tegapnya di atas kasur. Melewati sang Kakak yang sedang duduk di atas lantai. Di bawah tempat tidur.
"Ka, udah makan?"
Pria yang menelungkupkan tubuhnya di atas pembaringan itu berujar pelan, "belum."
"Mas masakin nasi goreng mau?"
"Gak usah." Ujarnya tanpa membuka mata.
"Gak baik makan ditunda-tunda, Ka." Ujar Yudhistira sambil menutup sketch book dan meletakkan benda yang tadi ia tekuri itu di tumpukan buku teratas. Tangannya meraih kacamata minus yang juga tergeletak di atas tumpukan buku. Kemudian mengenakan benda berlensa yang membantunya melihat.
Azka berdecak. Kemudian menatap kakaknya dengan alis menyatu. Dengan nada dingin membalas ucapan Yudhistira, "gak usah sok nasihatin kalau urus kesehatan diri sendiri aja ga bisa."
Yudhistira mendesah. Ia baru saja bangkit dari duduk. Namun pandangannya seketika gelap dan berkunang-kunang. Ia diam sebentar sambil berpegangan pada tembok. Berusaha mengatur nafas agar pusing berkunang yang tiba-tiba menyerang cepat hilang. Tanpa Yudhistira sadari, Azka sudah bersiap di belakangnya. Jaga-jaga kalau sang kakak jatuh, ia akan langsung menangkap.
Yudhistira tak sakit hati mendengar jawaban ketus adiknya itu. Ia tahu, Azka tak benar-benar bermaksud begitu. Meskipun terkadang kesal juga. Namun, mau bagaimana lagi. Azka itu adik satu-satunya.
"Pedes apa gak?" tanya Yudhistira lagi.
"Udah, diem aja kenapa sih, Mas?"
Azka kembali menelungkupkan wajah ke dalam bantal. Ia tak mau bertengkar dengan kakaknya lagi. Laki-laki keras kepala yang suka sekali meniru kelakuan Ayah mereka. Sok kuat, dan berlakon seolah baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Find
RomanceDiandra pikir, Dad hanya akan pergi sebentar, kemudian kembali dengan membawa banyak hadiah seperti biasa. Namun ternyata, ia tak kembali bahkan setelah delapan tahun berlalu. Membuat gadis itu mencarinya ke Indonesia, dimana Dad berasal. Kemudian m...