35

146 26 22
                                    

Dua minggu lebih sudah berlalu sejak pertengkaran panas antara Yudhis dengan Azka. Pertengkaran paling lama di antara mereka. Tak ada yang mau mengalah. Yudhis merasa benar, Azka tak merasa salah. Saling mempertahankan ego dan merasa pendapatnya paling tepat.

Keduanya saling menghindar. Sama-sama bekerja hingga larut untuk menghindari pertemuan. Berharap lawannya sudah tidur, sehingga tak perlu terjadi interaksi. Jika pun tak sengaja pulang bersama, atmosfer di kamar kecil itu akan terasa begitu canggung. Keduanya sama-sama bertingkah seolah tak ada makhluk lain di sana. Tak ada lagi berbagi makanan, atau sekedar obrolan ringan. Tak ada lagi Azka yang mengingatkan kakaknya minum obat. Tak ada lagi Yudhis yang membangunkan adiknya setiap pagi. Alarm mengambil alih tugas Yudhis sepenuhnya.

Azka sudah meluap kemarahannya. Ia merasa Yudhis sudah kehilangan akal hingga berniat melanggar aturan Tuhan hanya karena seorang gadis. Gadis yang bahkan bisa membuat Yudhis, yang jika marah kepadanya pun paling hanya satu hari, bisa mendiamkannya hingga dua minggu. Diandra benar-benar telah menggeser posisinya. Bahkan, berhasil membuat Yudhis berniat pergi ke Inggris. Kata-katanya yang mengatakan bahwa ia akan menemani Azka, ternyata tak lebih dari sebuah omong kosong.

Membuat Azka yang tadinya menyembunyikan khawatir, kini benar-benar berusaha tidak peduli. Kata sakarepmu (whatsoever) ia pasang besar-besar. Meskipun Yudhis sakit sekalipun, ia tak akan mendekat. Seperti ia yang bekerja larut malam karena ingin membiasakan diri tanpa Yudhis, Yudhis juga harus bisa mengurus dirinya sendiri. Karena mereka akan terpisah ribuan mil jauhnya.

Sedangkan Yudhis, ia masih belum bisa meredam kemarahannya kepada Azka. Ia marah kepada Azka yang tak memberinya izin untuknya dan Diandra. Ia marah dengan Azka yang kurang ajar, dan menuduhnya melanggar batas.

Predikat sok tahu ia sematkan pada Azka. Tahu apa dia soal pernikahan? Bahkan Hayu -yang entah sudah dipacarinya atau belum- mungkin adalah perempuan pertama di hidup Azka, di umurnya yang sudah hampir dua puluh empat tahun.

Pria itu membenci fakta bahwa hubungannya dengan sang adik kini sedang renggang. Apalagi sang kinasih adalah penyebab kacaunya hubungan mereka. Namun egonya masih terlalu tinggi untuk memperbaiki hubungan kakak beradiknya dengan Azka. Bagi Yudhis, Azka yang lebih muda yang harus minta maaf.

Namun harus Yudhis akui, bahwa ia merindukan adiknya. Ia kecewa dengan Azka yang bersikap acuh. Yudhis mengharapkan perhatian yang tertutup gengsi dari laki-laki berlesung pipi itu. Tingkah malu-malunya ketika mengingatkan minum obat, atau marah-marahnya ketika Yudhis tak mau patuh dengan dokter. Silent treatment dari Azka benar-benar menyakitkan.

Malam ini, Azka sudah tidak tahan lagi. Seberapa besar marahnya, Yudhis tetap kakak yang ia hormati. Jadi ia lebih memilih untuk menurunkan ego. Meminta maaf terlebih dahulu.

"Aku..., aku, abis beli wedang jahe. Diminum dulu keburu dingin." Kalimat sarat kecanggungan itu tak berbalas. Bahkan hanya sekedar gumaman.

Azka menyesap wedang jahenya sedikit. Sambil duduk menghadap sang kakak yang tertidur sambil memainkan ponsel di atas tilam. Yudhis sempat tertegun selama sedetik. Terkejut karena Azka akhirnya memulai pembicaraan lebih dulu.

"Mas," Azka memanggil.

Kali ini Yudhis menggumam singkat. Meskipun tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel yang menampilkan percakapannya dengan Diandra. Lain dengan Azka, hubungannya dengan Diandra malah sudah lebih dulu mencair. Katanya, saat itu Diandra hanya terlalu sedih. Bukan masalah uang, namun kecewa. Sehingga Yudhis yang jadi sasaran. Dengan sedikit penjelasan, hubungan mereka kembali seperti semula.

"Wedang jahenya." Kali ini Azka menyodorkan gelas yang masih mengepul itu karena Yudhis tak menanggapi. Yudhis melirik singkat lalu menjawab, "nanti."

Pria yang lebih muda itu kembali duduk di kursi. Kedua tangannya terus bergerak gelisah. Dengan ragu ia berujar, "Mas, aku..., mau... terapi."

Yudhis terdiam sejenak. Kemudian mengalihkan atensi sepenuhnya kepada Azka. "Kenapa?"

Mendengar jawaban yang terkesan datar itu, Azka berpikir sebentar kemudian menjawab, "ya..., aku..., ikutin sarannya Mas Yudhis."

"Bukan karena biar Mas maafin kamu?" tukas Yudhis.

Azka diam sebentar. Kemudian memilih untuk menggeleng. Meskipun yang dikatakan Yudhistira benar adanya. Ia pikir, setuju untuk melakukan sesi konseling dengan pria itu bisa membuat hubungan mereka seperti semula.

"Cari aja psikolog lain." Yudhis menanggapi dengan ketus dan kembali memusatkan pandang pada layar. Melihat Yudhis yang terkesan tak menghargai, padahal ia sudah berusaha memperbaiki hubungan, emosi Azka tersulut.

"Mas Yudhis tuh kenapa sih? Yang aku bilang bener, kok! Kalian gak boleh menikah. Hukum negara bisa kalian lawan, tapi Mas gak bisa lari dari hukum Tuhan."

"Gak usah sok religius, Azka." Yudhis bangkit dari tidurnya. Berdiri menatap adiknya dengan nyalang. Sindiran itu membuat Azka membelalakan mata.

"Mas Yudhis terlalu berlebihan mencintai Diandra. Mas sampai kehilangan akal!" Wajah Azka memerah menahan marah. Ia menurunkan koper dari atas lemari. Kemudian dengan gerakan cepat memasukkan barang-barangnya ke dalam sana.

"Tau apa, kamu?"

"Kamu," Azka menunjuk Yudhis dengan telunjuk, "bukan Yudhistira yang saya kenal. Mulai sekarang, kamu gak lebih dari orang asing buat saya." Kalimat itu penuh penekanan.

"Kurang ajar kamu, Azka!" bentak Yudhis. Ia tak peduli jika suaranya bisa didengar oleh tetangga. "Mas yang udah urus kamu dari umur lima belas tahun, Mas yang bayar sekolah dan les kamu, Mas yang kerja buat kamu. Kamu pikir, setelah jadi manager seperti sekarang, karena siapa? Karena kamu sendiri?"

"Ungkit semua!" Azka berteriak marah. Kemudian sambil menunjuk Yudhis, ia berbisik, "kakak saya gak pernah ambil keputusan bodoh, kakak saya gak pernah pamrih, kakak saya gak pernah membentak. Kamu cuma orang asing!"

Bisikan yang terdengar menyakitkan di telinga Yudhis. Membuatnya tercekat. Mendadak tersadar kalau dalam beberapa menit ini sudah berubah begitu banyak. Kata-kata yang ia ucapkan terasa tak pantas diucapkan seorang kakak kepada adiknya.

"Saya akan ganti semuanya." Kalimat itu diucapkan Azka sebelum ia keluar dari kamar. Tetangga kost sudah berdiri di depan kamar masing-masing. Ingin tahu apa yang terjadi. Azka berusaha tak peduli. Sedangkan Yudhis termenung menatap kepergian sang adik. 

***

Hello, readers!
I will upload my new story tomorrow. A simple bittersweet love story about Hadyan and Anjani. Wish you enjoy it as well!

 Wish you enjoy it as well!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

And this is the snippet

Follow my ig @macaroontiramisu for another snippet 😊

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Follow my ig @macaroontiramisu for another snippet 😊

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang