26

134 21 4
                                    

"Mas, minta ya?"

Yudhistira terlonjak kaget. Ia melirik Asha tajam. Kesal karena sang partner telah membuatnya terkejut. Asha menatapnya dengan pandangan tak berdosa. Menggigit beng-beng rampasan dengan mata membulat, tanpa merasa bersalah. Beng-beng itu, disediakan Yudhis untuk klien. Dengan harapan, makanan ringan rasa coklat yang tak seberapa harganya itu bisa membuat suasana hati kliennya menjadi lebih baik. Yudhis sudah cukup senang ketika melihat mereka tersenyum lagi. Namun malah Asha yang kerap menghabiskan camilan itu.

"Ngagetin aja." Ketus Yudhis sambil merapikan kertas-kertas yang berserakan di atas meja kerja. Asha menekuk bibirnya ke bawah.

"Aku kan ngomongnya pelan. Mas Yudhis aja yang gak fokus!" Asha menyangkal, tak mau disalahkan. Kemudian wajah jahilnya muncul, "mikirin cewek ya, Mas?"

Yudhis mencebik. Bertingkah seolah tak peduli. Meskipun tebakan Asha benar, tepat sasaran. Membuatnya salah tingkah.

"Siapa, Mas? Diandra, ya?"

"Kok kamu tahu soal Diandra?" Yudhis terkejut bukan main. Seingatnya, ia tak pernah menceritakan Diandra kepada siapapun. Bahkan Azka pun tidak tahu soal gadis yang memenuhi kepalanya sekarang.

"Berarti benar. Diandra!" Asha mengejek.

Jantung Yudhis tiba-tiba berdebar. Takut kalau ia lupa, pernah mengatakan sesuatu tentang Diandra kepada Asha. Wajahnya memerah, "tahu dari mana?"

"Kan, waktu itu, pas Naya nanya Mas Yudhis mau tunangan sama siapa, Mas jawab, 'Diandra'"

"Lupain!" perintah Yudhis. Asha tertawa sambil memukul lengannya. Mambuat Yudhis semakin merasa malu dengan tingkahnya sendiri. 

Hari telah berganti minggu. Entah ini sudah minggu keberapa, dimana kontak antara Yudhis dan Diandra terputus. Bahkan, nomor teleponnya sudah diblokir oleh Yudhis beberapa hari yang lalu. Sebagai bentuk upayanya supaya tak terus-terusan memikirkan soal gadis cantik berdarah campuran itu. Pamflet yang ia janjikan, sudah ia kirimkan. Kemudian, bahkan sebelum mendapat balasan, kontaknya ia blokir dengan cepat.

Beberapa minggu ini berat untuk Yudhis. Ia sendiri dibuat bingung oleh perasaannya. Ia seakan berubah menjadi gila. Ia menginginkan Diandra, namun mengkhawatirkan gadis itu jika bersamanya. Yudhis pikir, Diandra hanya sedang jatuh cinta. Makanya, semua yang ada dalam diri Yudhis terasa sempurna. Kini, ketika ia tahu faktanya, pasti pergi menjauh.

Memang lebih baik seperti itu. Diandra pasti ingin bebas seperti burung yang dilepas. Bisa melakukan apapun sesukanya. Energinya yang tak pernah habis, bisa membawanya pergi kemanapun itu. Tak seperti Yudhis yang lebih mirip robot yang hampir rusak.

"Klien terakhir. Abis ini pulang, yeay!" bisik Asha pelan. Yudhis mendongak. Pulang, kini menjadi sesuatu yang mendebarkan untuknya. Takut kalau bertemu dengan Diandra seperti waktu itu. Kost mereka yang berhadapan, tentu sangat memungkinkan terjadinya pertemuan tidak sengaja. Yudhis hanya tidak mengerti, harus bagaimana jika bertemu dengannya lagi. Takut kalau pertahanannya runtuh seketika.

***

Yudhis mencebik kala melihat Diandra yang sudah berdiri di depan pagar kostnya. Gadis dengan rambut bergelombang itu berdiri menghadapnya. Sudah terlambat bagi Yudhis untuk berbalik. Diandra sudah melihat. Laju motornya memelan. Yudhis bingung harus bagaimana.

Ia mendesah kesal. Mau tak mau, harus menghadapi Diandra kali ini. Yudhis menguatkan diri untuk bersikap tega. Ia harus cepat. Berpura-pura tak mengenal Diandra. Pun kalau harus berbicara, ia akan berbicara secukupnya saja.

"Yudhis, You blocked my contact." Diandra berujar tanpa basa-basi. Yudhis turun dari motor, lalu membuka gerbang. Masih tak menghiraukan gadis itu.

"Yudhis, aku tau kamu dengar," kata Diandra lagi sambil melangkah mengikutinya. Yudhis membuka rolling door garasi, kemudian memasukkan motor. Berjajar dengan motor penghuni kost yang lain. Diandra masih mengikuti. Banyu yang baru turun dari tangga dan bertemu mereka berdua membelalakan mata.

"Loh... ini...," pria itu terbata. Tak enak mengatakan yang sebenarnya. Bahwa kost mereka begitu ketat peraturannya. Ada CCTV yang selalu dipantau oleh Ibu Kost supaya tidak ada tamu perempuan yang masuk. Yudhis yang paham menggunakan itu sebagai ide untuk mengusir Diandra.

"Diandra, ini kost laki-laki. Kamu gak boleh masuk."

"Kenapa?" Diandra membalas seolah itu bukan hal yang salah. Banyu yang tersadar dari keterkejutan berdehem singkat. Kemudian melanjutkan langkah untuk mengambil makanan yang ia pesan melalui ojek online. Sadar kalau seharusnya ia tidak berada di antara dua orang itu. Meskipun sebenarnya penasaran. Kenapa Yudhis bisa mengenal gadis yang ia intip lebih dulu. Banyu memaki Yudhis dalam hati. Dulu katanya tidak mau. Sekarang mereka malah nampak akrab.

"Aturannya begitu." Yudhis menjawab singkat dengan acuh. Ia mencabut kunci motor. Kemudian melangkah ke arah tangga. Namun lagi-lagi Diandra mengikuti.

"Diandra, kamu gak boleh masuk!"

"Tapi aku mau bicara sama kamu. Kalau kamu gak mau, aku akan ikut sekalipun harus masuk ke dalam kamar!" ancamnya. Banyu yang mendengar itu tersenyum canggung. Wajah Yudhis memerah karena malu. Sedangkan Diandra nampak tak peduli.

"Permisi," ujar Banyu sambil lewat.

Yudhis mengalihkan tatap dari Banyu, kemudian mendesah karena tak punya pilihan lain. "Oke, apa?"

Kedua tangan Diandra saling meremas. Nampak ragu. Ia terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya berujar, "I've made up my mind."

Yudhis masih menunggu dengan sabar. Meskipun dengan jantung berdebar. Menanti apa yang akan telinganya dengar.

"I wanna stay..., with you." Yudhis tercekat. Namun Diandra buru-buru menambahi, "aku cuma butuh izin dari kamu. Gak mungkin kan, cuma aku satu-satunya yang jatuh cinta di sini?"

"Diandra tolong...," Yudhis nampak kehabisan kata, "pikir pakai logika, jangan hati."

"I use them both!" Diandra tak mau kalah.

"Saya takut kamu menyesal." Dengan nada yang sedikit naik, ia memberikan penekanan di setiap kata. 

"Yudhis, apapun pilihan kita, pasti akan menimbulkan penyesalan pada akhirnya. Jadi, aku akan pilih sesuatu yang paling aku suka. Sekalipun nanti aku menyesal, setidaknya aku sudah bahagia."

Yudhis diam sebentar. Memandang wajah gadis itu selama beberapa saat, "lalu gimana dengan agama kita yang beda, dan soal berapa lama kamu di Indonesia?"

"Kita bisa pikirkan nanti kan? Nggak semua soal harus dijawab sekarang." Diandra mencoba meyakinkan.

Yudhis tersenyum mengejek, "tetap saja. Penuh ketidakpastian."

"Memangnya kenapa? Hidup memang penuh ketidakpastian kan? Aku juga gak tahu, kapan aku mati. Apa bedanya sama kamu?" Yudhis mengalihkan wajah. Tenggorokannya tercekat. Ia hanya menginginkan kebahagiaan. Apakah sesulit itu, Tuhan? Yudhis masih manusia biasa yang ingin merasakan dicintai. Setelah sekian lama, ia bahkan lupa bagaimana rasanya dicintai orang lain. Rasanya dimanjakan, dan rasanya diperhatikan dengan penuh kasih. Ia ingin punya tempat untuk pulang. 

"Bahkan kamu juga mempelajari sesuatu yang abstrak kan, Yudhis?" pertanyaan Diandra membuatnya kembali memandang gadis itu. Tertegun sejenak, Yudhis bahkan lupa kalau ketidakpastian ternyata begitu dekat dengannya. Memangnya ia pernah melihat bagaimana rupa sebuah jiwa?

Pada akhirnya, Yudhis mengangguk. "Kalau ada waktu, saya kenalkan kamu dengan adik saya," ujar Yudhis. Yang berarti mengajak Diandra masuk ke dalam hidupnya. Memperkenalkan gadis itu dengan orang-orang kesayangannya yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Memperlihatkan gadis itu bagaimana dunia sepi yang ia huni.

Diandra tersenyum lebar. Kemudian mengangguk kuat. "Maaf, aku butuh waktu lama buat berpikir. Kan waktu itu aku udah bilang, aku gak pintar. Jadi..., jangan paksa aku buat jawab semua soal sekarang. Aku bahkan butuh waktu lama buat mengerjakan ujian."

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang