16

162 23 9
                                    

"Mau kemana?" suara dingin Azka menyapa telinga Yudhis yang tengah mematut di depan kaca. Laki-laki itu berhenti menyisir rambut dan menoleh ke arah adiknya.

"Keluar sebentar." Yudhistira mengenakan kacamatanya sambil tersenyum tipis.

"Udah malem," Azka memberi penekanan di setiap katanya.

Yudhis mencebik, kemudian menunjukan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri, "baru setengah tujuh."

Azka terdiam. Ini memang belum malam. Tapi mau kemana Yudhis di jam segini?  Waktu pria itu biasanya hanya dihabiskan untuk kuliah dan bekerja. Yudhis sama seperti Azka yang hampir tidak memiliki teman. Pacar juga sudah tidak ada. Terakhir Azka dengar mantan Yudhis yang terakhir telah menikah. Bukan tipe kakaknya sekali keluar malam untuk bermain.

"Istirahat aja kenapa sih!" lanjut Azka lagi. Laki-laki itu mulai kesal. Kenapa sih, Yudhis ini sukanya mencari risiko? Suka sekali membuat Azka khawatir. Pria yang lebih muda dari Yudhis itu selalu khawatir jika melihat kakaknya tumbang. Namun Yudhis terus saja tak memperhatikan pantangan. 

"Pergi keluar bentar aja kok." Yudhis beralasan. Ia benar-benar tak sabar. Acaranya malam ini, tidak bisa dibatalkan. 

"Kata dokter, gak boleh capek, gak boleh stress, gak boleh luka atau kebentur, minum obat teratur, check up-"

"Emang pinter kamu, Ka. Bisa inget semuanya." Yudhistira mengacak rambut Azka. membuat pemiliknya menampik tangan Yudhis dengan kesal.

Saya sebentar lagi keluar.

Pesan itu dikirimkan Yudhis sebelum mengenakan jaket. Setelah selesai dan memastikan bahwa ia tak meninggalkan dompet atau ponselnya, laki-laki itu membuka pintu. Mengambil sebuah sepatu kets dari rak dan mengenakannya.

"Ka, Mas berangkat, ya?"

"Kata dokter, kalo keluar pake masker." Azka yang sudah tidak memiliki alasan menahan Yudhis untuk tetap di rumah akhirnya memilih menyodorkan masker kepada laki-laki yang tengah tersenyum bodoh itu.

"Oh, iya! pinjam helmmu ya, Ka?" Azka meliriknya curiga. Namun kemudian mengangguk.

"Makasih, calon pacarnya Hayu." Yudhis kembali tersenyum bodoh. Azka hanya diam dengan lirikan tajam. Kemudian menutup pintu kamar dan kembali melanjutkan aktivitasnya membaca buku.

Namun, otaknya itu sama sekali tak terfokus pada barisan aksara yang tertulis di hadapannya. Ia malah memikirkan kemana Yudhis akan pergi. Apa ke toko buku? Namun Azka rasa, tidak. Kakaknya itu, terlihat terlalu ceria jika hanya untuk pergi ke toko buku. Bahkan seolah terlalu bersemangat. 

Lagi, memangnya Yudhis tidak bisa menggunakan e-commerce? Sepenting apakah buku itu, hingga membuat Yudhis yang bisa dibilang cukup jarang pergi, rela keluar? Azka mencebik kesal. Lagi-lagi Yudhis merahasiakan sesuatu.

Azka berani bertaruh, kalau waktu itu bukan ia yang diajak berbicara oleh dokter mengenai diagnosa penyakitnya, pasti hingga sekarang Azka tidak tahu apa-apa. Pasti Yudhis tetap menyimpan hal itu untuk dirinya sendiri. Merasa bahwa ia bisa mengatasi masalah besar itu sendiri.

***

Diandra menoleh ke arah tempat kos Yudhis kala mendengar suara deru sepeda motor. Tak lama kemudian, suara pagar yang digeser menyusul. Cahaya lampu dari motor juga turut membuatnya tersenyum. Kian merekah ketika kedua netranya menangkap Yudhis dengan kuda besinya. Diandra seketika merasa menjadi seorang tuan putri yang dijemput sang pangeran pujaan.

"Kita mau kemana?" tanya gadis dengan jaket berwarna coklat muda itu.

"Coba tebak," Yudhis membalas sambil melajukan sepeda motornya.

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang