41

162 18 14
                                    

Diandra yang baru kembali dari mengambil minum terpaku beberapa saat ketika Mum telah duduk di depan laptopnya yang menyala. Wajahnya menghadap layar datar itu dengan pandangan serius. Jarinya, menekan tombol untuk menggeser tampilan.

"Mum?" Diandra mendekat.

"Apa dia..., Yudhistira?" gadis itu mengangguk setelah mengamati layar selama beberapa saat.

Tadi, rindu kembali menyerbu. Membuat gadis itu mau tak mau kembali membuka folder bernama mantan kekasihnya. fail-fail berformat jpg itu adalah satu-satunya panacea bagi rindu dan patah hatinya. Folder yang berisi foto-foto Yudhis, ia jadikan satu dengan folder bernama 'The Pramudya Brothers'. Kedekatan kakak beradik yang pernah ia bekukan dalam sekeping memori itu masih seringkali ia amati.

Ia ingat bagaimana sedihnya Yudhis kala bertengkar dengan adiknya. Pria itu nampak berantakan sekali. Dan seolah tak ada yang bisa dilakukan Diandra. Bahkan kalimatnya yang mengatakan, "you have to say sorry then." dibantah Yudhistira. Katanya, pertengkaran mereka sudah terlalu panas. Hingga mengatakan maaf terlalu sulit. Ia menagih itu dari Azka. Namun sayangnya sang adik tak juga mengalah.

Diandra tak mengerti kenapa hubungan persaudaraan yang begitu manis itu bisa rusak. Tak heran jika kekasihnya terlihat begitu tersiksa. Namun ego sedang membelenggunya. Enggan melakukan apa yang ia katakan. Pria berkacamata itu juga tak menjelaskan apa masalah yang membuatnya dan Azka berseteru. Diandra sungguh menyayangkan sikapnya. Yang gadis itu tak tahu, dialah penyebab pertengkaran itu.

"He's cute." Mum berkomentar dengan senyum tipis. Membuat Diandra melongo sendiri. Bukankah waktu itu Mum melarangnya berhubungan dengan Yudhis?

"Jadi ini yang membuatmu menangis setiap malam?" Mum membelai rambut putrinya. Diandra tertawa malu, "Mum tahu?"

Wanita itu mengangguk sambil tersenyum tipis, "gak sengaja lihat pas masuk kamarmu."

Rona merah pasti sudah mendominasi pipi. Sekaligus air mata yang mulai memenuhi kelopak matanya. "Hubungan kami selesai."

"Diandra...," Mum menangkup wajahnya, "ada banyak hal, yang mungkin kamu hadapi jika melanjutkan hubungan dengan Yudhistira."

Gadis cantik itu memusatkan pandang pada wanita yang selalu merengkuhnya dengan kasih. Mungkin Mum akan menjelaskan alasan dibalik penolakannya. "Sebagian besar orang Indonesia, punya agama yang berbeda dengan kita. Dan mereka, begitu memegang prinsip untuk menikah dengan orang yang seagama. Penolakan dari keluarganya, mungkin akan kamu rasakan. Beruntung Mum dan Dad tidak perlu merasakan masalah itu."

Diandra mengangguk membenarkan. Ternyata Mum sudah terlebih dahulu memperkirakan masalah yang akan ia hadapi dengan Yudhis. Ia saja yang menganggap semua itu mudah. Harusnya sejak awal tak menutup mata kala perbedaan agama adalah salah satu hal yang membuat Yudhis merasa terbebani. Kata egois, ia labelkan pada diri sendiri.

"Mum juga takut, kalau kamu gak pulang ke Inggris." Wanita itu mulai menangis. "Membayangkan saja, Mum gak berani, Ann. Dad sudah pergi, masa Mum harus kehilangan lagi?"

"Mana mungkin?" Diandra membalas genggaman tangan Mum, "aku gak bisa jauh dari Mum, Kak Danish, Kak Ansel juga. Dan sekarang, Dad. Semuanya kembali seperti sebelumnya, Mum. Are you happy?" Mum mengangguk.

"Sorry, Ann. Mum cuma takut kamu terluka."

Gadis dengan rambut bergelombang itu mengangguk. Semuanya kembali seperti semula. Dan semula, tidak ada Yudhistira.

***

Yudhis mengusap matanya yang berembun. Untung saja belum sempat menetes. Azka berdiri di podium membacakan pidato sebagai lulusan terbaik. Namanya disebut dengan jelas sebagai orang yang paling berjasa di hidup Abimanyu Azka Pramudya. Rasa haru membuncah. Bangga sudah pasti. Yudhis memandang Azka sambil bertepuk tangan kala adiknya turun dari podium. Sedangkan Azka memilih untuk menghindari tatapan Yudhis. Pria itu tahu, pasti adiknya gengsi setengah mati.

Ayah pasti bangga, berkali-kali ia ucapkan di dalam dada. Memberi tahu pria yang sudah tertidur dalam pangkuan Tuhan itu kalau anak keduanya benar-benar membanggakan keluarga. Azka sudah bukan 'boneka kecil' lagi. Ia sudah besar, menyandang gelar master, dan menggandeng seorang wanita cantik berkebaya merah muda. Ia bukan lagi bocah berseragam putih biru yang marah karena sahabat berbulunya diganggu. Kini ia mengenakan toga!

"Diam di situ, Ka! Mas foto dulu." Azka nampak mengeluh. Yudhis terus memaksa untuk berpose. Sedangkan ia sangat malu di depan kamera. Hayu hanya tertawa sambil mengamati layar ponsel Yudhis.

"Senyum dong!" Hayu ikut menggoda.

"Tau, nih! Kaya senyum bayar aja. Padahal gajinya banyak." Hayu terbahak. Azka memutar bola mata.

"Hayu, sana! Foto berdua sama Azka." Gadis itu berjalan malu-malu mendekat ke arah kekasihnya.

"Lebih dekat dong! Hayu, gandeng tangan pacarmu!"

"Apa sih, Mas?" wajah Azka memerah. Keduanya nampak merona malu. Hayu melirik ke arah pria di sampingnya seolah meminta persetujuan. Azka menyodorkan lengannya. Mempersilahkan dengan gestur. Keduanya bergandengan tangan meski nampak canggung.

"Oke, ayo kita pindah ke gedung rektorat. Disana lebih bagus!" Yudhis berjalan mendahului. Azka hanya berdecak kesal.

"Mas, ayo pulang. Mas Yudhis belum makan, belum minum obat."

"Dih, orang lagi wisuda kok malah disuruh minum obat." Yudhis kembali melangkah dengan semangat. Azka menggeram kesal, membuat Hayu tertawa pelan.

"Udahlah, telat minum obat sebentar aja gak apa-apa kan? Mas Yudhis lagi excited karena adiknya wisuda." Hayu menenangkan sambil menepuk lengan pria itu pelan. Mereka masih saling bergandengan. Azka hanya diam dengan wajah sebal.

"Baru juga keluar dari rumah sakit," gumamnya. Bukan hal mudah bisa membawa Yudhis kemari. Setelah kemarin sempat demam, pagi ini pria itu nampak sehat. Ia begitu bersemangat menemani Azka wisuda. Sejak tadi, ia terus berputar-putar mencari spot foto yang bagus untuk mengabadikan gambar Azka dalam balutan toga. Pria itu tak nampak seperti seorang pasien yang memaksa pulang lebih cepat. Kini bahkan ia terlihat sama aktifnya dengan Diandra. Azka yang terlalu khawatir hanya bisa pasrah. Yudhis belum sempat makan, apalagi minum obat. Sejak tadi, ia hanya ketakutan kalau kakaknya sampai pingsan.

Yudhis akhirnya bisa datang ke acara wisuda sang adik setelah perdebatan panjang dengan dokter dan pihak rumah sakit. Akhirnya Yudhis diperbolehkan pulang. Namun Azka harus menandatangani perjanjian, jika terjadi sesuatu dengan pasien, ia tak akan menuntut pihak rumah sakit. Karena sama sekali bukan kesalahan mereka.

"Gantian Mas Yudhis yang foto sama Azka. Sini, aku fotoin." Hayu mengambil alih ponsel milik Yudhis. Pria itu berjalan mendekat ke arah Azka, kemudian merangkul sang adik.

"Hadap sini dong, Ka." Hayu berujar. Azka mengarahkan wajah ke arah kamera dengan malu-malu. Dua gambar terambil. Saat Hayu memerintahkan untuk ganti gaya, bukannya berpose, Azka malah memeluk kakaknya. Hayu buru-buru mengambil momen itu. Tapi tak berhenti sampai pelukan, Azka mengambil tangan Yudhis dan mengecupnya lama. Tanggung, sekalian saja malu. Tadi ia sudah menyebut nama Yudhis ketika pidato, sekarang ia ingin Yudhis tahu kalau ia adalah orang yang membuatnya menjadi seperti ini. Meskipun masih dengan cara tersirat.

Keharuan kembali menyeruak. Yudhis tatap wajah adiknya. Kemudian berbisik, "Ayah pasti bangga."

Hayu ikut terharu melihat pemandangan di depannya. Ia tak pernah melihat hubungan kakak beradik laki-laki sekuat ini. Tak banyak kata, tak banyak tindakan penuh emosi. Namun setiap perbuatan mengandung makna yang mendalam. Ia mendengar Azka selalu menyelipkan 'Mas Yudhis'nya di setiap pembicaraan mereka. Ia paham seberapa besar sayang Azka untuk satu-satunya saudara yang ia punya. Meskipun tidak diungkapkan secara terang-terangan. Ialah saksi gundahnya Azka beberapa hari belakangan. Hayu selalu berdoa untuk Yudhis. Ia tak mau melihat Azka hancur jika kakaknya sampai pergi. Membayangkan saja, ia tak berani.

"Ayo foto bertiga!" Yudhis berseru. Hayu berjalan mendekat.

"Agak nunduk, Sayang. Kamu tinggi banget." Hayu berujar yang memegang kamera. Yudhis menatap mereka dengan tatapan sebal.

"Tolong jangan terlalu romantis, ada yang lagi patah hati karena gagal menikah di sini," sindirnya. Azka dan Hayu sontak tertawa. Blush di pipi gadis itu semakin terlihat jelas. Ia tak sengaja mengucapkan kata 'sayang'. Membuatnya malu sendiri karena ada Yudhis di sini.

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang