28

133 22 7
                                    

Yudhis terbangun kala hidungnya menghidu aroma wangi yang untuk beberapa saat semerbak memenuhi kamar. Kedua matanya mengedip. Dalam pandangannya yang masih buram, ia melihat Azka yang sudah rapi dengan balutan kemeja kerja. Tengah menutup botol parfumnya dan meletakkan kembali ke atas meja. Adiknya itu kemudian beralih untuk menyisir rambut di depan cermin.

Yudhis menoleh ke samping. Dimana jendela yang sudah terbuka menyorotkan sinar matahari ke wajahnya. Membuatnya tersadar bahwa hari sudah siang, dan ia belum bersiap sama sekali. Pria itu buru-buru bangkit. Pusing berkunang langsung menyerbu kepala. Membuatnya terduduk di atas tilam sambil memijat dahi.

"Kok Mas gak dibangunin? Jadi kesiangan kan!" Yudhis mengomel. Membuat sang adik menoleh. Azka tetap tenang. Ia memang sengaja tak membangunkan pria berkacamata itu.

"Hari ini gak usah kerja. Makanan sama obat udah aku taruh di situ," Azka menunjuk meja kecil di sebelah ranjang. Di atasnya terdapat sebotol air mineral, styrofoam lengkap dengan plastik berisi kerupuk, dan obat-obatan milik Yudhis.

Yudhis sadar bahwa ia kelelahan. Tubuhnya yang sudah tidak sekuat dulu, memberontak lagi hari ini.  Yang Yudhis perlukan sekarang adalah istirahat, ia tahu benar. Tapi peringatan Pak Hanif kemarin membuatnya tak tenang. Ia sudah mendapat teguran dua kali karena terlalu banyak izin. Meskipun alasannya adalah karena masalah kesehatan. Tentu kantor tidak bisa memberikan toleransi terus-menerus.

"Mas udah kebanyakan-" belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Yudhis terjatuh. Azka tak berhasil menangkap. Pria itu memegang kepalanya yang berkunang. Selain pusing, ia hampir tak memiliki tenaga sama sekali. Yudhis merutuki tubuhnya sendiri.

Jantung Azka hampir lepas dari tempatnya ketika Yudhis terjatuh. Kejadiannya begitu cepat dan ia sedang fokus bercermin. Hingga Azka kurang sigap untuk menangkap tubuh kakaknya. Untung saja tak ada benturan yang terjadi. Ia segera merengkuh tubuh sang kakak. Tubuhnya bergetar. Merasa dejavu. Dulu, ia pernah berada di posisi yang sama. Dengan Ayah dalam pelukannya. Ia dekap kakaknya semakin erat. Dengan bibir tergigit, berusaha menahan tangis.

Azka tahu, ia memang cengeng. Selama ini, ia hanya menyembunyikan kerapuhannya dibalik wajah datar dan sikap acuh. Berpura-pura menjadi sosok kuat. Karena keadaan memang mengharuskannya begitu.

"Mas, demi Tuhan! Mas harus transplantasi!" bisik Azka.

Meskipun kedua matanya terpejam erat, Yudhis bisa merasakan bahwa Azka mendekapnya erat. Membuatnya seketika tersadar kalau ia harus segera kembali berakting untuk menjadi sosok yang kuat. Seorang kakak yang bisa diandalkan dalam segala situasi.  Karena hanya ialah tempat Azka untuk bersandar.

"Gak apa-apa." Yudhis menepuk pelan lengan adiknya. Membuat Azka membuka mata. Dalam jarak sedekat ini, ia bisa merasakan suhu tubuh kakaknya yang tinggi.

"Apanya yang gak apa-apa? trans-"

"Kita bahas ini nanti, Azka." Sadar kalau perdebatan bisa semakin panjang, Yudhis lebih memilih untuk menukas kalimat adiknya.

"Ayo balik ke kasur." Azka berujar sambil mengangkat tubuh kakaknya. Yudhis keluarkan seluruh tenaga untuk bangkit. Meskipun pada akhirnya Azka-lah yang menopang hampir seluruh bobot tubuhnya. Membuatnya nampak benar-benar kepayahan.

Azka menyelimuti tubuh Yudhis yang mulai menggigil. Kemudian mengambil termometer di dalam laci dan mengukur suhu tubuhnya. Pagi ini, Azka mau tak mau dipaksa untuk mengingat lagi kejadian bertahun-tahun lalu. Ayah dan Yudhis sama-sama menderita kelainan darah. Membuat Azka benar-benar takut, karena Ayah tak berhasil sembuh. Padahal kala itu, sudah banyak yang mereka lakukan.

"Cepet berangkat, Ka," perintah Yudhis yang lebih mirip bisikan. Membuat Azka kembali bimbang. Hari ini, ada rapat penting yang tidak bisa ditinggal. Yang berarti ia harus meninggalkan Yudhis sendirian.

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang