31

127 22 22
                                    

Yudhis yang sedang makan malam mendongak kala Azka menyodorkan sebuah amplop besar. Pria itu terlihat tersenyum tipis. Hingga lesung pipinya terlihat samar-samar. Membuat Yudhis menatapnya aneh.

"Congratulations."

Yudhis berhenti makan. Yammie yang menjadi menu makan malamnya kali ini sudah tak menarik lagi. Pria itu menerima surat yang disodorkan Azka. Tertulis namanya dan alamat kos di bagian kanan bawah surat. Yang berarti surat itu ditujukan kepadanya. Tangan Yudhis bergerak untuk membuka amplop. Menarik selembar kertas di dalamnya.

"Bapak Psikolog Yudhistira," lanjut Azka. Yudhis tersenyum senang. Surat izin praktik psikolognya sudah turun. Kini, ia berhak untuk membuka praktik psikolog. Resmi menjadi seorang tenaga medis yang bisa membantu banyak orang. Kedua mata itu berbinar cerah. Yudhis mengamati selembar kertas itu lama. Ada namanya disana. Tak salah lagi, ini miliknya. Rasanya seperti mimpi. Akhirnya setelah bertahun-tahun, Yudhis dapatkan apa yang ia inginkan. Setelah melewati naik turunnya perjuangan. Rasanya ia ingin memamerkan surat itu kepada Ayah dan Ibu.

Ayah adalah orang pertama yang ia beritahu kalau Yudhis ingin melanjutkan studi di bidang psikologi. Ayah adalah orang yang pertama kali tahu keinginannya untuk menjadi psikolog. Ayah mendukung penuh. Apalagi ketika melihat ilmu psikologi belum banyak dikenal orang saat itu. Yudhis ingin Ayah tahu kalau kini ia telah menjadi seorang psikolog klinis. Bahkan Ayah pernah bilang, "jadilah psikolog, Yudhis. Bantu banyak orang."

Yudhis pandangi nama lengkapnya disana. Tersemat tiga gelar di belakang namanya. Yudhistira Azraff Pramudya, S. Psi, M.Psi, Psikolog. Ayah, aku berhasil. Bisiknya dalam hati. Pria itu yakin Ayah dengar. Ayah tahu, dan hadir.

"Once more, congratulations Bapak Psikolog Yudhistira. Ayah must be proud of you," Azka menjulurkan tangan mengajak bersalaman. Mengatakan hal yang sama dengan yang dikatakan Yudhis, ketika ia diwisuda dan mendapat kehormatan sebagai lulusan terbaik. Yudhis menerima ucapan selamat dari adiknya.

"Kamu jadi klien pertama Mas, Ka." Yudhis berujar semangat. Azka mengernyit. Ia merasa baik-baik saja. Namun belum sempat protes,  Yudhis menarik tangannya. Mendudukan sang adik di kursi. Pria itu juga menyingkirkan mangkuk berisi yammie yang mulai dingin. Yudhis terlalu senang, sudah tak ingin melanjutkan makan.

"Isi ini!" Yudhis menyodorkan beberapa lembar kertas. Ia juga mencarikan pulpen untuk Azka mengisi test itu. Yudhis akan melakukan tes depresi kepada adiknya.

"Habisin makannya!" Azka akhirnya menurut. Namun tak lupa untuk menyuruh Yudhis menghabiskan seporsi yammie yang terabaikan. Yudhis mengangguk. Sambil menunggu Azka selesai, ia akan menghabiskan makanannya.

Sambil makan, Yudhis perhatikan punggung Azka. Adiknya itu tengah serius mengerjakan tes yang ia berikan. Yudhis menunggu dengan cemas. Namun, setidaknya ia bisa menolong Azka. Azka begitu penting untuk pria itu. Yudhis tentu tak akan membiarkan sang adik memiliki masalah psikologis.

Dugaannya terbukti. Azka mendapat skor tinggi dalam tes yang ia berikan. Yudhis mendapati skor Azka pada kategori severe depression. Namun belum bisa menjatuhkan diagnosa begitu saja. Karena harus ada beberapa rangkaian asesmen lagi yang harus dilakukan sebelum diagnosa ditegakkan. Azka hanya diam sambil menatapnya takut-takut.

"Lihat, kamu kena depresi berat, Ka. Kenapa diam aja?" Yudhis memandang adiknya serius. Azka menunduk. Ia merasa masih bisa mengatasi masalahnya sendiri. Tak membutuhkan bantuan orang lain. Meskipun menjadi adik Yudhis, namun ia begitu awam soal dunia psikologi. Ia tak pernah menyangka akan mendapat hasil depresi berat seperti yang dikatakan kakaknya. Meskipun jika ia memikirkan tentang apa yang ia rasakan dan pendam sendiri selama ini, Azka merasa semuanya begitu kompleks dan rumit. Hingga akhirnya ia memilih rokok sebagai pelarian.

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang