21

166 28 23
                                    


Meskipun kedua mata itu masih terpejam, namun kedua telinganya sudah kembali menjalankan tugas. Suara-suara perlahan mulai terdengar. Beberapa orang berbicara pelan. Suara benda yang bergesekan atau malah terjatuh. Mengumpulkan penuh kesadarannya. 

Laki-laki itu mengedip beberapa kali. Kemudian pandangannya menyapu ruangan, mencari jam. Tak ada yang ia cari di sana. Namun cahaya matahari yang masuk dari sela-sela jendela memberi tahu bahwa hari sudah semakin siang. 

Nafasnya sudah jauh lebih baik dari kemarin. Tentu karena bantuan kanula nasal yang melintang di wajahnya sekarang. Yudhis menghela nafas panjang. Ternyata Tuhan masih memberi kesempatan. 

“Azka.” Tangan laki-laki itu menepuk ringan punggung adiknya yang tertidur dengan menelungkupkan wajah. Tak ada respon. Azka masih begitu lelap dalam mimpi. Yudhis kembali panggil nama adiknya. Dengan tepukan di punggung yang sedikit lebih keras. Hanya ada gumaman singkat. 

“Azka, udah siang!” kali ini, azka terbangun. Mengusap kedua wajahnya yang kusut dengan kedua tangan. Menghilangkan sisa-sisa kantuk yang masih menggantung di kedua mata. Pandangannya menyapu ruangan asing itu. Baru ia sadari bahwa semalam, ia tidak tidur di kamar.

“Cepat berangkat!” Yudhis kembali memerintah. Azka melirik ke arahnya. 

“Aku di sini hari ini.”

“Ngapain?” alis Yudhistira menyatu. 

“Ya ngapain lagi.” jawab Azka cuek. Gengsinya masih begitu tinggi. 

“Gak boleh, sana cepat berangkat!” Yudhis mencoba mengeluarkan nada tegas. Namun suara yang keluar justru malah serak dan lemah. 

“Gak mau.”  Azka merasakan cengkraman lemah di bahunya. Tersangkanya tentu saja Yudhis. Maka ia melirik ke arah laki-laki itu. 

“Jangan gini, Azka. cepat berangkat, nanti bisa kesini lagi.” Yudhis masih belum menyerah untuk memaksa. Membuat Azka kalut karenanya. Enggan meninggalkan kakaknya karena khawatir, namun juga enggan mengatakan alasan itu. Siapa yang akan membantunya makan? Menuntunnya ke kamar mandi? Sedangkan untuk duduk saja mungkin Yudhis tak mampu karena terlalu lemas. 

“Jangan sampai ditegur, malu.” Azka bimbang. Meskipun Yudhis prioritasnya, tapi Azka tetap harus membangun citra. Pekerjaannya tak bisa ditinggal begitu saja. Suara Yudhis kembali terdengar, menyadarkannya dari lamunan, “Mas tambahin uang jajanmu. Lima puluh ribu cukup?” tawaran itu sejak dulu selalu menggiurkan. Selalu menjadi senjata ampuh yang dipakai Yudhis jika Azka tak mau pergi ke sekolah atau les ketika ingin menjaganya karena sakit. Namun kini Azka bukan anak sekolahan lagi. 

“Gajiku bahkan lebih banyak dari Mas.”

Yudhistira terkekeh. Kemudian membalas, "Mas masih sering lupa kalau kamu udah kerja sekarang."

"Tunggu apa lagi, Ka? Nanti kesiangan."

Azka akhirnya menyerah. Ia mengacak rambut, kemudian memundurkan kursi yang ia duduki. Laki-laki itu menghela nafas kasar.

"Aku langsung kesini habis pulang kerja. Kalau ada apa-apa, telpon aku. Adik Mas itu aku, bukan Banyu."

Yudhis tak kuasa untuk tertawa pelan kala Azka berujar kalimat yang tersirat kecemburuan itu. Azka yang baru menyadari kala selesai berucap, langsung mengalihkan pandang. Menyembunyikan semburat malu di wajah. Tapi memang Azka sebal sekali kemarin. Ada ia yang menjabat adik Yudhis, namun kakaknya malah lebih memilih Banyu untuk dimintai tolong. 
Ia meraih tangan Yudhis dan menciumnya. Hal yang terakhir kali ia lakukan ketika diwisuda beberapa bulan lalu. Namun kala menyadari apa yang baru saja ia lakukan, malah membuatnya semakin salah tingkah. Yudhis semakin tertawa melihat tingkah adiknya. Hingga tawa itu berhenti karena terbatuk. 

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang