22

143 27 16
                                    

"Makan dulu." Azka menyodorkan sendok berisi nasi lembek ke depan mulut Yudhis. Kakaknya itu masih memejamkan mata tanpa membuka mulut. Sejak tadi begitu. Yudhis bilang tubuhnya lemas sekali. Jadi Azka bisa mengerti mengapa ia tak melakukan apapun, meski hanya sekedar memainkan ponsel.

"Mas Yudhis," Azka kembali berujar. Yudhis menggeleng sambil mengalihkan wajah ke arah yang berlawanan dengan Azka. Azka kembalikan sendok itu ke piring yang ia bawa di tangan kiri. Kemudian menghela nafas lelah. Mencoba bersabar seperti yang dikatakan Banyu malam itu. Ia sadar kalau sudah terlalu kasar dengan Yudhis selama ini. Jadi Azka ingin berubah. Pria itu tak ingin menyesal. Percakapannya dengan Banyu sedikit banyak membuatnya tersadar. Nasihat Banyu begitu membekas. Berhasil membuat Azka berjanji untuk tidak marah-marah lagi.

Hari ini, Azka memilih cuti. Ia tak tega membayangkan Yudhis sendirian di sini. Mungkin jika Yudhis sakit dan tidak sampai masuk rumah sakit seperti biasa, Azka masih tega untuk meninggalkannya di kos. Tapi jika sudah sampai parah seperti ini, Azka bahkan tak bisa untuk pura-pura tidak peduli. Apalagi dengan 'laporan' yang ia terima kemarin.

"Ayo, Mas baru makan dikit dari kemarin." Azka kembali membujuk. Sejak kemarin malam, Yudhis hanya makan beberapa suap saja. Padahal sendoknya tak penuh. Porsi makanan yang masuk ke perutnya benar-benar minim.

"Nanti, Azka," Yudhis membalas. Suaranya begitu pelan dan lirih. Seolah tenaganya memang benar-benar hampir habis.

"Lemasnya ga bakal hilang kalau gak makan." Azka mengambil sebotol air mineral di nakas dan meminumnya. Ruangan rumah sakit kelas tiga ini lumayan panas. Tidak ada kipas angin, apalagi pendingin ruangan. Hanya jendela-jendela besar di satu sisi ruangan saja yang terbuka. Membiarkan angin panas musim hujan masuk. Azka mendongak, menatap tetes demi tetes infus yang masuk ke tubuh Yudhis lewat selang. Tiba-tiba ia terpikir, bagaimana kalau dulu ia lebih memilih menjadi dokter? Mungkin ia bisa menolong Yudhis. Tak hanya diam karena tak mengerti apa-apa seperti ini. 

"Aku belikan kebab kesukaannya Mas, ya?" Azka tiba-tiba berujar. Biar saja ia menyelinapkan makanan luar. Yang penting Yudhis mau makan. Daripada seperti ini terus. Yudhis berusaha membuka kedua matanya. Kemudian melirik ke arah sang adik. Azka sudah mulai bersiap. Ia kini sedang mengenakan jaket.

"Tunggu sebentar, tapi janji habis ini harus makan." Belum sempat Yudhis menjawab, Azka sudah berjalan cepat. Yudhis hanya mampu memandangi sang adik yang semakin buram di penglihatannya yang tak memakai kacamata.

Yudhis berdecak. Ia menyusahkan Azka lagi. Semalam, ia terbangun kala mendengar isakan. Ketika netranya terbuka, ia melihat Azka yang tengah serius berdoa. Bibirnya tak berhenti merapal setiap kata yang menjadi harapannya. Ada banyak kata 'Mas Yudhis' yang terselip di sana. Membuat Yudhis tahu bahwa Azka berdoa untuknya. Melihat Azka yang sedang merayu Tuhan, membuat Yudhis turut menyatukan tangan. Berdoa dalam diam. Meminta belas kasihan Tuhan. Azka sudah terlalu kasihan.

Sejak masih begitu muda, ia telah melihat Ayah yang sakit parah. Ibu yang tak pernah di rumah, juga selalu marah-marah. Ia harus rela menukar waktu mainnya sepulang sekolah untuk ke rumah sakit. Kemudian, menyaksikan perselingkuhan Ibu. Menyaksikan wanita yang melahirkannya berzina dengan seorang pria asing di rumah. Azka juga harus merelakan telinganya untuk mendengar cemoohan tetangga.

Tuhan, Azka sudah terlalu banyak bersedih dan menderita. Tolong kabulkan apapun yang menjadi doanya. Melihat Azka semalam, Yudhis jadi merasa bersalah. Selama ini, ia terlalu mengalah pada penyakitnya. Padahal ada orang lain yang menginginkan kesembuhannya. Ada adiknya yang tak mau ditinggal pergi. Yudhis tak pernah tahu kalau Azka ternyata sepeduli ini. Yudhis mungkin paham kalau Azka khawatir setiap ia sakit. Namun tak pernah menyangka kalau ketakutannya akan penyakit Yudhis begitu besar.

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang