3

215 25 4
                                    

Indonesia harusnya bukan tempat yang asing. Diandra sudah beberapa kali datang ke negara asal Dad ini. Apalagi untuk merayakan hari besar keagamaan. Namun nyatanya, ia masih tak tahu banyak tentang negara kepulauan ini. 

Ia menatap orang-orang yang berlalu lalang di jalan Malioboro dengan bingung. Gadis itu memutuskan untuk duduk di salah satu bangku yang kosong. Jalan yang menjadi ikon khas kota Jogja itu mulai ramai oleh pedagang-pedagang yang berjualan di bahu jalan dan kios-kios. Baju-baju batik digantung berjajar. Gelang, topi, kaos hingga Bakpia. Kereta-kereta kuda dengan kusir berbaju lurik berjajar di sepanjang jalan. Menawarkan pengalaman mengelilingi Malioboro dengan delman. Banyak hal yang ditawarkan disini.

Semalam, ia melakukan panggilan video call dengan adik Dad. Diandra memanggilnya dengan sebutan Bibi Diah. Setelah mencari akun sosial media wanita itu, ia mengirimkan pesan. Lalu pesannya berbalas dan terjadilah pertemuan lewat video call tadi malam.

Bibi Diah mengatakan dengan wajah terkejut bercampur bingung. Katanya, Dad tak pernah datang ke rumahnya. Tidak di rumahnya yang di Bandung, atau rumahnya sekarang yang berada di Sumatera. Ia bahkan baru tahu kalau sang kakak sudah pergi entah kemana sejak delapan tahun yang lalu. Hubungan terakhir mereka, terjadi 10 tahun lalu. Saat Diandra dan keluarganya datang ke Bandung untuk terakhir kali.

Kini Diandra tak tahu harus mencari Dad kemana lagi. Bibi Diah adalah satu-satunya saudara Dad. Kakek dan nenek dari pihak Dad sudah meninggal bertahun-tahun lalu. Jadi, hanya Bibi Diah-lah harapan yang tersisa.

Sebenarnya, Diandra benar-benar tidak punya clue. Ia hanya mengira-ngira dimana Dad berada. Karena Dad berasal dari Indonesia, tepatnya dari Bandung, maka ia datang ke negara ini.

Diandra mengurungkan niat untuk pergi ke Bandung ketika ingat bahwa sudah tidak ada siapa-siapa di sana. Gadis itu kemudian memutuskan untuk pergi ke Magelang terlebih dahulu. Menengok candi yang dulu sering diceritakan. Candi yang selalu berhasil membuatnya penasaran. Selain untuk membuktikan cerita Dad, juga untuk memberikan waktu bagi otaknya untuk berpikir. Akan kemana ia setelah sampai di negeri bernama Indonesia ini.

Indonesia terlalu luas untuk ia jelajahi dalam waktu singkat. Sementara, ia benar-benar ingin bertemu dengan Dad secepatnya. Menyeret pria itu pulang ke Inggris dan memperbaiki hubungannya dengan Mum. Insting sok tahu Diandra berkata, mungkin itu bisa menyembuhkan Mum. Selain itu, ia sudah benar-benar rindu kepada Dad. Bagaimana mungkin, ia pergi begitu saja?

Air mata gadis berkaus pale green itu kembali merembes ketika mengingat Dad. Mengingat keluarganya yang hancur dalam sekejap. Mum yang didiagnosa gangguan jiwa dan dirinya yang bingung harus mencurahkan emosi kepada siapa.

Kalau Diandra berhasil bertemu dengan dengan Dad, ia akan berteriak dengan bangga, bahwa kini ia sudah menjadi seorang fotografer sepertinya. Memiliki akun instagram dengan ratusan ribu pengikut. Ada banyak orang bersedia membeli foto yang ia ciptakan. Banyak juga yang bersedia membayar mahal demi membeli jasanya. Diandra sudah punya koleksi piala dan penghargaan. Dad pasti bangga. Diandra yakin itu.

Dad, apa Dad tak mau melihatku lagi? Anak kecil ini sekarang sudah dewasa. Sudah lulus dari universitas, sudah punya pekerjaan yang sama dengan Dad.

Mengingat soal Dad, Diandra juga ingat jika pria itu begitu mencintai negaranya. Hal-hal yang dilakukannya ketika di rumah membuat mereka seakan sedang berada di Indonesia, bukan di Inggris. Ia sering menceritakan bagaimana budaya negaranya setiap malam sebelum tidur. Memasak makanan Indonesia yang ia bisa, juga membiasakan menggunakan bahasa Indonesia ketika di rumah. Dad juga yang menyematkan nama-nama Indonesia dalam rangkaian nama anak-anaknya. Bahkan Dad menetapkan nama panggilan anak-anaknya dengan nama Indonesia yang ia pilih.

Kakak pertamanya, Pranadipta Danish Wijaya. Kakak keduanya, Bagaskara Ansel Wijaya. Diandra sendiri bernama lengkap Diandra Ann Wijaya. Sedangkan nama Inggris mereka, Mum yang menyelipkan. Sebagai pengingat, meskipun darah Indonesia mereka lebih mendominasi, mereka tetap punya keturunan Inggris.

Mum adalah blasteran Indonesia-Inggris. Tapi sejak kecil sudah tinggal di Inggris. Sama seperti Diandra, hanya ke Indonesia sesekali.

Namun begitu Dad pergi entah kemana, Mum mengubah nama panggilan mereka. Mum lebih memilih memanggil mereka dengan nama Inggris. Danish, Ansel dan Ann. Berusaha menghilangkan jejak-jejak Dad sebanyak mungkin.

"Dad, aku sudah disini. Dad di mana?" monolognya.

Diandra mengusap air matanya. Tak mau disangka orang gila karena menangis sendiri di pinggir jalan. 

Hingga akhrinya, gadis itu mengambil keputusan. Sembari mencari Dad, ia akan menikmati setiap budaya yang hanya ia kenal dari cerita Dad. Sambil mencicipi makanan yang kata Dad enak, dan menjelajahi setiap jengkal tanah bernama Indonesia semampu yang ia bisa.

Delapan tahun bukan waktu yang singkat. Delapan tahun lalu, terakhir kali Diandra mendengar sesuatu tentang Indonesia dari Dad. Kini, ia akan berusaha membuktikannya sendiri. Diandra akan berusaha mengumpulkan kepingan-kepingan surga bernama Indonesia yang hanya ia tahu dari Dad. Berusaha mengingat kembali kenangan tentang Indonesia yang pernah hilang dari rumah seiring dengan perginya Dad. 

"Dad, aku sudah di Indonesia. Aku akan membuktikan sendiri apakah surga ini benar-benar nyata."

Diandra berusaha mengulaskan senyum di bibirnya yang merah. Gadis itu berusaha baik-baik saja dengan kenyataan bahwa ia tak punya petunjuk apapun untuk mencari Dad. Berusaha menghibur diri sendiri dari kenyataan bahwa ia sendirian dan tak tahu harus apa. Berusaha baik-baik saja meskipun ia bagai anak ayam kehilangan induk, tak tahu harus kemana.

You'll meet him, Diandra. Trust it.

***

Di tikungan menuju tempat kosnya, Dindra hampir terluka. Seorang pria dengan motor matic hampir menabraknya. Diandra berteriak terkejut sambil menutup muka. Bersiap menerima sakitnya benturan dari kuda besi itu. belum lagi jika ia harus terguling di atas aspal.

Namun ternyata ia masih baik-baik saja. Diandra beranikan diri untuk membuka mata. Laki-laki itu membuka kaca helm yang ia kenakan. Tersirat sisa-sisa kemarahan dan emosi di wajahnya. Diandra menatapnya bingung, memangnya dia yang salah?

Diandra berjalan pelan di jalanan kompleks yang sepi. Di sebelah kiri. Dengan hati-hati. Kurang apa lagi?

Laki-laki itu saja yang tetap memacu kendaraan dengan kencang bahkan ketika berbelok melewati tikungan. Makanya hampir menabrak Diandra. Bahkan ia juga tidak berjalan di jalur yang benar.

"Maaf!" ujar si pengendara motor sambil pergi begitu saja. 

Meninggalkan Diandra yang masih diam mematung mengamati tingkah ajaibnya. Gadis itu berdecak kesal. Baru satu minggu ia di Indonesia, sudah hampir celaka saja.

Mengingat misinya yang mungkin membutuhkan waktu lama, Diandra akhirnya memutuskan untuk menyewa sebuah boarding house. Tentu tidak mungkin tinggal di hotel selama beberapa bulan, atau bahkan tahun.  Untung ia sudah memperkirakan hal ini. Makanya ia membuat visa tinggal. Bukan visa wisata.

Gadis dengan rambut kecoklatan itu melepas tas selempang yang ia bawa. Kamar kos yang ia sewa tampak kosong. Hanya ada kasur, meja dan almari. Tidak ada barang-barang lucu seperti kamarnya di Inggris. Sepi. Ia agak kurang terbiasa dengan kesepian ini. Tidak ada Mum yang marah-marah tidak jelas. Tidak ada Danish yang menceramahinya, dan tidak ada Ansel dengan nyanyiannya yang seringkali terdengar memenuhi rumah.

Tak ada aktor-aktor pendukung yang membantunya bersikap baik-baik saja setelah kepergian Dad. Mereka senang sekali bertingkah seolah Dad akan pulang sebentar lagi. Seolah Dad hanya pergi untuk mengadakan pameran di luar kota dan akan kembali dalam beberapa hari. Meskipun 'beberapa hari' itu telah berubah menjadi delapan tahun tanpa mereka sadari.

492021

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang