20

180 25 25
                                    

Kala lembayung senja bersinar di langit, Yudhis memilih untuk duduk. Menikmati sinar jingga keemasannya dalam diam. Kepalanya terlalu riuh. Hingga bibirnya kebingungan untuk berucap.

Soal Ibu, Yudhis masih masih enggan mengakui kalau Ibu melakukan hal sejauh itu. Dengan mengetahui Ibu diam-diam bermain api di belakang Ayah saja sudah membuat amarahnya berkobar. Kini, kala amarah itu hampir padam, apa yang ia dengar dari Azka seolah membuat amarah itu membesar lagi. Bak api kecil yang disiram bensin. Yudhis bahkan belum bisa membayangkan, bagaimana jika ia bertemu dengan Ibu setelah ini.

Berciuman dengan Om Wira di depan rumah? Tak menyangka Ibu pernah seberani itu. Seketika perlakuan Ibu kepada Ayah berputar kembali di kepalanya. Membuat kedua netra itu berkaca.

Yudhis mengusap wajahnya. Buru-buru meminta ampun kepada Tuhan. Bagaimanapun, Ibu tetaplah Ibu. Wanita yang memberikan seluruh kasih yang ia punya untuknya. Sekalipun pernah berbuat dosa sebesar apapun. Darah Ibu tetap mengalir dalam tubuhnya. Dan akan terus begitu selamanya.

Pria itu berusaha menekan kemarahan. Memikirkan berbagai kemungkinan untuk memadamkan api kemarahan yang membesar itu. Pasti Ibu punya alasan. Yudhis tak boleh seperti ini. Harus menjadi contoh yang baik untuk adiknya. Dan membenci Ibu bukanlah suatu hal yang baik. Harusnya ia yang menjadi jembatan antara Ibu dan Azka. memperbaiki hubungan mereka berdua supaya seperti semula.

Kedua matanya memandang kosong ke sebuah panggung tanpa penampil. Setelah Ibu, kini Naya muncul. Seolah kini ia sedang berdiri di atas panggung. Memandang Yudhis dengan senyum lebar dan wajah cerianya seperti biasa.

Psikolog tidak boleh terlibat keakraban seksual dengan orang yang sedang menjalani pelayanan konseling psikologi atau psikoterapi.  Bunyi ayat dalam salah satu pasal di dalam kode etik. Membuat Yudhis selalu menjaga jarak dengan Naya setelah mengetahui bahwa gadis itu memiliki rasa yang lebih.

Naya cukup berani. Dia pernah menyatakan cintanya. Jadi bukan Yudhis yang terlalu percaya diri. Chat dari gadis dua puluh tahun itu selalu masuk ke dalam ponsel Yudhis. Setiap hari. Entah sekedar mengucapkan selamat pagi, atau curhat. Yudhis tak bisa abaikan begitu saja. Atas dasar profesionalisme, tetap membalas pesan-pesan itu.

Laki-laki itu pernah jelaskan soal kode etik yang mengancamnya. Namun Naya seolah tak peduli. Tetap mengejarnya seolah anak kecil yang menginginkan boneka untuk dimiliki. Yudhis bisa mengerti. Mungkin itu semua karena keluarganya terlalu acuh. Sehingga terkesan Yudhis satu-satunya orang yang peduli. Tentu tak aneh jika ia juga menginginkan perhatian. Seseorang yang bisa mendengar dan membuatnya kembali semangat. Mungkin semua orang bisa mendengar, namun tidak semua orang bisa mendengarkan.

Setelah ucapan bohong Asha yang membuat Naya berkaca-kaca, gadis cantik itu nampak semakin tak bersemangat. Bahkan kembali melakukan Self Injurious Behavior seperti dulu, di kedatangan pertamanya. Yudhis ketakutan, kalau ia adalah salah satu penyebab menurunya kondisi Naya.

Merasa begitu kejam, menghempas gadis itu pergi. Padahal Naya pernah bilang bahwa ia tak memiliki siapa-siapa lagi. "Terimakasih, ya. Udah mau dengerin aku ngomong. Cuma Mas Yudhis yang mau dengar." suara itu seolah kembali bergema di telinganya. Terus berulang hingga membuat Yudhis tersiksa karenanya.

"Yudhis!" pria itu terkejut. Membuat seseorang yang menepuk pundaknya ikut terkejut pula. Yudhis terpaku, memandangi wajah yang tersenyum ke arahnya itu.

"Kamu lagi menikmati candhik ayu, ya?"

Yudhis mengangguk dengan tergagap. Kemudian mengulaskan senyum tipis yang nampak dipaksakan. Diandra duduk di sebelahnya. Dengan senyum manis sambil menghadap panggung yang tetap saja kosong tanpa penampil.

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang