44

219 21 14
                                    

"Gimana, Bu? Azka melesak masuk ke dalam kamar kakaknya setelah membersihkan tubuh dan mengganti baju sepulang dari kantor. Tadi siang Ibu memberi tahu bahwa kakaknya terus mengeluh sakit. Membuat Azka tak tenang seharian, dan memutuskan membatalkan lembur hari ini.

"Katanya masih sakit kepala. Tapi bentar lagi sembuh kan, Mas?" cara bicaranya seperti menghadapi anak kecil. Ibu menempatkan diri di sebelah Yudhis. Memijat kepala putra sulungnya sambil sesekali memberikan kecupan ringan. Seolah ingin memindahkan sakit itu ke tubuhnya sendiri. 

Azka ikut merebahkan diri di atas tilam. Mengapit Yudhis di antara mereka. Menemani sang kakak yang tengah bertarung dengan rasa sakitnya. Bahkan tak hanya Azka dan Ibu. Muffin pun ikut bergabung. Kucing coklat muda itu melompat ke atas ranjang, kemudian meringkuk di sebelah Azka sambil menggoyang-goyangkan ekornya ke kanan kiri. 

Candhik ayu yang bersinar di langit menyorot ke arah mereka. Melesak masuk dari jendela yang gordennya berkibar pelan. Membelai tubuh mereka bertiga. Sebuah buaian yang tenang di tengah hangatnya keluarga. Ketenangan yang dirindukan Azka dan Yudhistira. 

"Cepat sembuh, ya, Mas? Ada banyak orang yang butuh dibantu." Ibu mengecup tangan pria yang sejak tadi masih diam sambil memejamkan mata. "Ibu janji, kalau Mas Yudhis sembuh, nanti Ibu buatkan klinik di depan rumah, ya?"

Kedua netra tua itu berkaca. Suaranya berubah menjadi serak. Entah sudah berapa kali ia menahan tangis dalam seharian ini. Ia hampir tak pernah beranjak dari sisi sang putra tertua, namun rasa bersalahnya masih enggan lenyap.
 
Sejak tadi, ia menggumamkan doa-doa. Mengemis kepada sang pencipta, untuk segera menyudahi penderitaan Yudhistira. Tak jauh berbeda, Azka memeluk kakaknya. Kembali merapal doa untuk membujuk Tuhan. 

"Tuh, makanya cepet sembuh!" suara Azka ikut bergetar. Akhir-akhir ini, ia lebih memilih untuk lebih meloloskan perasaannya. Meskipun akhirnya menjadi sering menangis karena kondisi Yudhis akhir-akhir ini. Yang terpenting, ia tak lagi memiliki tendensi untuk mengakhiri hidup. Karena ada Ibu yang menjadi tanggung jawabnya sekarang. 

Selama beberapa saat, ketiganya saling diam. Candhik ayu hilang ditelan malam. Dengan angin yang semakin kencang. Menebarkan hawa dingin yang menusuk kulit. Namun mereka enggan menutup jendela. Membiarkan sendunya candhik ala turut bergabung ke dalam kamar. 

"Ibu...," pria dengan rambut berantakan itu berujar lirih seolah mengadu. Yudhis memiringkan tubuhnya ke arah Ibu. mendekat, dan mencari sedikit kenyamanan.

"Sayang," Ibu membawa pria itu dalam dekapnya. 

Kernyitan dalam tercipta di kedua alisnya. Ia membalas pelukan Ibu dengan tangannya yang lemah. Mencari tempat ternyaman untuk tempatnya beristirahat. Wanita setengah baya itu mengusap punggung Yudhis hangat. Masih berharap, dengan begitu rasa sakit Yudhis segera lenyap.

"Mas, ingat gak? Dulu..., waktu kita di Jepang, Mas minta dua onigiri. Satu buat Mas Yudhis, yang satu buat Adek. Tapi..., dulu adekmu kan masih bayi. Belum bisa makan onigiri." Ibu mengecup singkat puncak kepala Yudhis. Kemudian melanjutkan, "tapi sekarang Dek Azka udah besar, Mas. Kita ajak jalan-jalan ke Jepang, ya? Beli onigiri yang banyak. Oke?" 

"Ayo, Mas. Aku belum pernah." Azka kini menanggapi dengan tetesan air mata. Tangannya memberikan usapan hangat di lengan Yudhis. 

Namun Yudhis enggan ikut menanggapi. Ia hanya diam, sambil menghela nafas berat. Hingga hembusannya terdengar oleh Azka dan Ibu. Seolah memang sudah benar-benar lelah dengan sakit. 

"Tuh, Azka mau, Mas." Air mata Ibu ikut luruh. "Cepet sembuh, ya. Kalau kata anak sekarang, yuk bisa yuk." kekehan ringan menyusul kemudian. Sambil menyeka air mata di pipi, Ibu mencoba bergurau. Tapi justru malah hatinya semakin sakit.

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang