10

182 26 19
                                    

Sepasang pengantin dalam pakaian adat jawa. Tergambar dalam selembar foto usang yang kertasnya sudah berwarna kekuningan. Tentu karena gambar itu telah diambil dua puluh delapan tahun lalu. Kedua orang dalam foto itu tak tersenyum. Seperti layaknya foto jaman dulu. Pria di foto itu, sangat mirip dengan Azka. Tentu saja karena itu adalah Ayah. Sedangkan Ibu, nampak cantik dengan paes di keningnya dan hiasan yang megah.

Yudhis mendapatkan foto itu dari album yang tidak disangka, akan dibawa oleh Ibu ke rumah barunya. Ibu bilang, foto pernikahannya dengan Ayah tidak sengaja terbawa. Tak tahu kalau ternyata ada selembar foto yang terselip di antara lembar-lembar foto Yudhis dan Azka.

Yudhis takut foto itu akan dibuang, mengingat bagaimana perlakuan Ibu kepada Ayah. Maka, ia memilih untuk menyelamatkan selembar fragmen memori itu dan membawa benda itu bersamanya.

Foto yang selama perjalanan ia simpan di dalam dompet. Kini setelah sampai kamar kos, ia keluarkan dan amati dalam-dalam. Seolah ingin menyampaikan kerinduannya yang mendalam kepada Ayah yang sudah tak dapat ia jangkau. Juga Ibu yang entah mengapa kini terasa asing. Perasaan yang seharusnya tidak muncul di antara Ibu dan anak.

Kedua netra hitam yang kali ini tidak tertutup oleh kacamata itu melirik ke arah bulan purnama yang berada di atas langit. Malam ini cerah, Yudhis bisa melihat langit bertabur bintang dan cahaya bulan bersinar terang dari jendela kamarnya. Namun sayang, hubungannya dengan sang adik masih dingin. Belum juga membaik. Yudhis masih berperang dengan batinnya sendiri. Ia marah terhadap dirinya sendiri yang terus menyusahkan dan membuat repot. Mungkin dengan membuat Azka sebal, anak itu tak akan mau menolongnya lagi. Ide klasik yang ia dapat dari alur film mainstream.

"Besok.. Besok jadwal Mas check up." Suara itu nampak ragu. Yudhis melirik dari sudut mata. Tanpa membalik badan untuk menghadap Azka. Laki-laki itu membalas ucapan adiknya dengan gumaman singkat.

"Aku habis beli wedang jahe di wedangan dekat situ. Diminum dulu." Azka kembali berujar. Berharap setidaknya Yudhis membalas dengan satu kata terimakasih. Bukan gumaman dingin yang semakin memperjelas ketegangan di antara mereka berdua.

"Azka?" ujar Yudhis. Lagi-lagi tanpa menghadapkan badannya ke arah Azka." Kamu gak perlu urusin Mas lagi kalau sakit. Gak perlu pikirin Mas juga. Mas baik-baik aja dan bisa jaga diri sendiri. Jangan habisin waktu sama tenaga kamu buat ngurusin Mas." Lanjut Yudhis.

Azka berdecak, kemudian menggumam, "ngelantur."

"Azka?" kali ini Yudhis berbalik menghadap adiknya. Laki-laki berkaos lengan panjang itu menghadiahi Azka tatapan datar. "Mas serius." Lanjut Yudhis. Azka mulai terusik emosinya. Yudhis ini kenapa sih?

"Mas kenapa sih? Emangnya salah kalau aku ngurusin Mas? Gak usah sok bilang gak butuh aku, siapa yang gotong Mas kalau lagi pingsan? Emangnya Mas bisa jalan sendiri?" ujar Azka tajam. Yudhis terdiam. "Kita, cuma punya satu sama lain! Udah sepantasnya aku ngurusin Masku kalau lagi sakit!"

Kini Azka sedikit menurunkan gengsi untuk mengemukakan apa yang ia rasakan. Ia ingin Yudhis mengerti. Juga menghilangkan pikiran buruknya yang tidak jelas.

"Harusnya Mas yang ngurusin kamu, bukan sebaliknya!" ujar Yudhis dengan nada meninggi. Mungkin tetangga akan mendengar perdebatan mereka. Namun kedua pria muda itu sama-sama tak peduli. Terlalu dikuasai emosi. Juga tak mau berhenti.

"Aku bukan anak kecil yang harus diurusin!" ujar Azka dengan nada yang sama tingginya.

"Tetep aja, kamu tanggung jawab Mas sekarang!"

Azka berdecih, "Mas aneh. Aku gak ngerasa ada yang salah. Kita saudara, saling ngurusin, saling jaga. Itu kan yang diajarin Ayah?"

"Tapi Mas nyusahin, Azka."

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang