"Mas Yudhis!" suara Asha menyambut pria yang baru saja datang dan membuka pintu kantor itu. Bahkan, suara Asha nampak gembira sekali. Lengkap dengan huruf 'I' yang dipanjangkan. Kedua tangan gadis manis itu direntangkan selebar mungkin. Memberi gestur hendak memeluk. Seolah sudah lama sekali tidak bertemu.
"Kenapa? Mau minta beng-beng?" jawab Yudhis pura-pura tak peduli. Akhirnya bangku kerjanya ditempati lagi setelah akhir pekan berlalu.
"Udah abis, Mas." Gadis itu memasang wajah tak berdosa. Membuat Yudhis melirik ke arah sekotak beng-beng yang selalu ia letakan di meja. Makanan yang ia sediakan untuk klien, namun malah seringkali diminta Asha. Yudhis meliriknya dengan malas. Asha bahkan menunjukkan bungkus-bungkus beng-beng yang ia makan sebelum Yudhis datang.
"Besok beli lagi ya, Mas!" Asha tersenyum lebar tanpa dosa.
Belum sempat Yudhis membalas Asha, pintu kaca di depan mereka terbuka. Menampilkan sosok pria berumur hampir empat puluh tahun. Dengan setelan kemeja berwarna biru cerah dan tas kerja berwarna hitam yang ditenteng di tangan kanan.
"Pagi, Pak Hanif!" kedua anak muda itu menyapa ramah. Pak Hanif balas menyapa. Lalu berlalu ke ruangan pribadinya. Baru beberapa langkah, pria itu kembali berbalik.
"Yudhis, kita diminta buat kasih tes intelejensi narapidana kasus pembunuhan. Kamu yang handle ya? Nanti waktunya saya kasih tau setelah dapat jadwal yang pasti, " ujar Pak Hanif. Tak ada pilihan lain bagi Yudhis selain mengangguk.
Semakin siang, biro psikologi tempatnya bekerja semakin ramai. Keduanya lumayan sibuk hari itu. Menerima tamu, mengadministrasikan alat tes, melakukan skoring, ataupun membantu Pak Hanif melakukan konseling. Sebagai lulusan sarjana psikologi, Yudhis dan Asha boleh menjadi konselor. Namun hanya Pak Hanif -Psikolog- yang berhak untuk memberikan diagnosa.
Pekerjaan Yudhis dan Asha terbatas. Ada beberapa hal yang diluar kewenangan mereka. Karena harus dilakukan oleh Psikolog. Misalnya melakukan interpretasi alat tes, mengeluarkan diagnosis dan memberikan terapi.
Pintu kaca kembali terbuka. Bel yang diletakan di atas berdenting pelan. Membuat Asha dan Yudhistira secara otomatis menoleh. Mengalihkan atensi keduanya dari pekerjaan yang tengah mereka lakukan. Seorang gadis muda berusia dua puluh tahun masuk didampingi oleh seorang wanita.
Yudhis memandang gadis dengan rambut tergerai itu sekilas. Namun ia lebih memilih untuk kembali memfokuskan diri pada layar komputer. Menyusun jadwal Pak Hanif untuk esok.
Dari ekor matanya, Yudhis bisa melihat kalau Naya menempatkan diri di sofa ruang tunggu. Gadis itu menatapnya. Dengan alis yang turun dan bibir melengkung ke bawah. Sedangkan wanita usia tiga puluhan yang mendampinginya sedang berbicara dengan Asha.
"Nona Naya gak mau makan, Mbak. Susah tidur juga." Yudhis tau menguping bukan hal baik. Tapi ia memilih untuk melakukan itu sekarang. Lagipula, tak bisa disebut menguping juga. Karena wanita itu duduk di depan Asha. Sedangkan Asha tepat berada di sebelahnya. Jarak mereka terlalu dekat. Sehingga wajar kalau Yudhis mendengar pembicaraan dua wanita beda usia itu.
"Sudah berapa lama, Bu?"
"Mungkin sekitar dua minggu ini." Yudhis tersedak liurnya sendiri. Ia buru-buru mengambil botol air minum di dalam tas dan menenggaknya. Berpura-pura seolah tak sedang menguping pembicaraan.
Yudhis sempat kehilangan fokus untuk mendengarkan pembicaraan mereka. Namun setelah ia selesai minum, Asha memanggil gadis yang sudah menjadi klien Pak Hanif sejak beberapa bulan lalu itu. Naya curi-curi pandang ke arahnya. Yudhis bisa melihat kalau wajah gadis itu diselimuti sendu. Seolah sedang memendam suatu permasalahan yang berat.
"Hai, Naya? Apa kabar?" Asha menyapa ramah.
"As you can see," gadis itu menjawab seadanya. Asha tersenyum maklum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Find
RomanceDiandra pikir, Dad hanya akan pergi sebentar, kemudian kembali dengan membawa banyak hadiah seperti biasa. Namun ternyata, ia tak kembali bahkan setelah delapan tahun berlalu. Membuat gadis itu mencarinya ke Indonesia, dimana Dad berasal. Kemudian m...