"Mas duduk aja kenapa sih, Ya Tuhan!" Azka mengomel sambil mengangkat sebuah meja kala melihat Yudhis kembali ikut bekerja. Pria itu kini tengah membersihkan jendela dengan kemoceng. Debu-debu beterbangan ke wajahnya. Membuat Azka kesal karena terus mengabaikan perintahnya. Yudhistira hanya tertawa kecil. Padahal ia tak mengangkat barang-barang berat seperti yang dilakukan sang adik. Hanya pekerjaan-pekerjaan ringan. Namun berhasil membuat Azka mengomel.
"Ambil masker, trus duduk di luar!" Azka memerintah tak mau dibantah.
"Jangan galak-galak dong, Pak bos!" pria yang lebih muda itu berdecak, kemudian mendorong tubuh Yudhis untuk duduk di beranda. Dimana satu set kursi merak berwarna putih kusam selalu berada di sana. Menghadap ke halaman yang cukup untuk anak-anak yang sedang aktif berlarian kesana-kemari.
Ibu muncul dari dapur dengan senampan makanan dan tiga gelas jus alpukat sambil berujar, "Udah, turutin aja apa kata adikmu. Kalau gak, nanti gajimu dipotong, Mas."
Yudhis terkekeh, "Azka makin pinter ya, Bu, nyuruh-nyuruh orangnya."
Ibu tertawa. Sedangkan yang dibicarakan hanya mendengus kesal. Pria itu melanjutkan pekerjaan Yudhis. Membersihkan debu tebal dari jendela dan mengusapnya dengan lap basah. Rumah ini ditinggal hampir delapan tahun. Ibu memang menitipkan rumah ini kepada tetangga sebelah untuk dirawat, namun tetap saja kotor.
Mereka harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk membersihkan rumah. Mungkin lebih tepatnya Azka dan Ibu. Meskipun mereka juga menggunakan jasa orang untuk membantu karena rumah sudah terlalu kotor. Yudhis tak diizinkan untuk membantu sama sekali.
Debu menumpuk begitu tebal di setiap bagian rumah. Rumput-rumput liar tumbuh di sela-sela paving block. Lantai rumah begitu kotor, hingga harus berkali-kali dipel. Pertama kali datang, rumah ini lebih mirip rumah hantu.
Bahkan ini sudah hari ketiga mereka membersihkan rumah. Namun belum juga bersih dengan sempurna. Sejak baru datang, Azka memutuskan untuk tinggal di hotel selama beberapa hari sampai rumah selesai dibersihkan. Namun Yudhis memaksa untuk pulang. Ia benar-benar sudah rindu kamar masa kecilnya. Azka akhirnya mengalah. Setidaknya rumah sudah jauh lebih baik.
Azka membanting diri di kursi. Pria itu nampak kelelahan. Akhirnya selesai juga urusan bersih-bersih. Rumah lama mereka akhirnya kembali layak huni.
"Tuh kan capek, sok banget sih. Dibantuin gak mau." Yudhis mencibir. Azka meneguk jus alpukat yang dibuat Ibu. Kemudian mencomot sepotong kue lapis legit di atas piring. Tak ada niat untuk menanggapi.
Yudhis kembali arahkan pandangan ke depan. Dimana jalan kampung terbentang. Dibatasi pagar besi yang tidak terlalu tinggi. Sudah lama sekali ia tidak duduk di halaman yang luas seperti ini. Menatap ke arah jalan sambil menikmati makanan dan mengobrol.
Hatinya begitu senang. Ia sangat merindukan segala hal di sini. Rumah, Ayah, memori masa kecil, segalanya. Bahkan, ia sudah bertemu dengan beberapa teman masa kecil. Orang-orang dari masa lalu, yang sudah bertahun-tahun tidak ia temui. Pelukan hangat langsung didapat Yudhis. Membuat hatinya begitu bungah. Kedua mata pria itu sampai mengembun karena terlalu senang. Yudhis begitu bersyukur. Tuhan memberikannya kesempatan untuk kembali ke rumah. Tak ada yang lebih indah dibandingkan ini. Penghiburan yang diberikan Tuhan memang selalu luar biasa.
Halaman rumah klasik itu didominasi warna putih yang kusam. Dengan kaca-kaca lebar di belakang kursi. Sebuah lonceng angin menggantung di atasnya. Dulu, Yudhis dan Azka pernah bertaruh, siapa yang bisa membunyikan lonceng itu dengan tiupan, boleh menghabiskan semua muffin yang dibuat Ibu. Tak ada satupun dari mereka yang menjadi pemenang karena atap yang tinggi. Sementara mereka tak lebih dari seorang anak kecil berumur empat dan delapan tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Find
RomanceDiandra pikir, Dad hanya akan pergi sebentar, kemudian kembali dengan membawa banyak hadiah seperti biasa. Namun ternyata, ia tak kembali bahkan setelah delapan tahun berlalu. Membuat gadis itu mencarinya ke Indonesia, dimana Dad berasal. Kemudian m...