9

160 23 9
                                    

Hello, Yudhis. I find your instagram. I think this is the easiest way to get in touch with you. Can you go for a walk this Saturday? I just heard about Taman Sari and I think that's a beautiful place. Maybe you can be my travel buddy and recommend hidden gems around it ;D

Pesan itu sudah masuk semenjak dua hari lalu. Namun, Yudhis baru sempat membacanya sekarang. Ketika mobil travel sudah berjalan jauh dari Yogyakarta.

Sorry, Diandra. I gotta go to another city this weekend. How about next weekend?

Kalimat itu dipilih Yudhis untuk membahas pesan Diandra. Seulas senyum terukir di bibirnya yang senantiasa pucat. Gadis ini... membuatnya penasaran. Ada banyak hal yang disembunyikan di balik sorot matanya. Ada sorot kesal dibalik kata, "aku fotografer, gak ada jadwal yang strict." Ketika di Stasiun. Lalu sorot mata kecewa dibalik mata beriris coklat itu ketika Yudhis menyuruhnya naik taxi online. Kenapa ia sebal, dan kenapa ia kecewa?

"Harusnya bentar lagi sampai," Ujar Azka sambil menatap jalanan. Yudhis menoleh ke arah adiknya. Kemudian, ikut menatap jalanan.

"Iya. Kata maps juga sekitar lima jam. Harusnya setengah jam lagi sampai."

Azka jadi ikut ke rumah Ibu. Dia tidak mengatakan apapun selain ingin ikut. Yudhis juga tak mengerti apa yang ia rasakan sekarang. Apakah menyesal karena ikut, atau sedang mengolah emosinya agar tidak meledak ketika bertemu dengan Ibu.

Yudhis dan Azka berangkat di Sabtu pagi. Tidak ada jadwal travel ke kota ini di hari Jum'at malam. Seharusnya di hari yang sudah hampir siang ini mereka sampai.

Alarm di ponsel Yudhis berdering. Yudhis segera tahu kalau itu alarm pengingat minum obat. Ia mengeluarkan obat-obatan dari dalam tas. Cukup repot karena obat yang harus dikonsumsi setiap harinya tidak hanya satu dan mobil ini terus bergoyang. Belum lagi, sebelah tangannya harus memegang air. Bahkan kini tangan pria itu sudah cukup basah karena air yang tumpah. Yudhis menoleh ketika Azka mengambil alih obat-obatannya. Laki-laki itu membuka satu persatu obat dan menyerahkan kepada Yudhis tanpa bicara. Yudhis hanya perlu menenggak saja.

"Thanks," Ujar Yudhis pada Azka. Azka Mengembalikan obat dan mengalihkan pandang ke arah jendela tanpa menatap wajahnya.

Mobil itu berhenti. Yudhis dan Azka turun. Memanggul tas ransel mereka sendiri-sendiri. Yudhis mengamati jalanan arteri kota itu. Tidak seramai Jogja. Sesekali kendaraan besar seperti bus dan truk lewat. Kota ini jauh lebih sepi dan tenang. Tak salah kalau Ibu memilih kota ini sebagai tempat tinggal di masa tua dengan suaminya setelah menikah tiga tahun lalu. Pasti nyaman tinggal di sini. Kota kecil yang jauh dari hingar bingar.

"Ayo, kata maps gak jauh dari sini. Jalan kaki aja." Azka mengangguk. Adik tampannya itu sempat meminum air bekalnya terlebih dahulu sebelum berjalan mengikuti.

Rumah-rumah tua bergaya Fujian berjajar sepanjang jalan yang mereka lalui. Setiap rumah itu, berukuran besar. Nampak seperti rumah-rumah saudagar kaya jaman dulu. Beberapa cat rumah itu telah mengelupas. Terkadang juga nampak kusam. Semak dan perdu tumbuh liar di bawah tembok yang membatasi antara halaman rumah dengan jalan kampung kecil yang mereka lewati.

Kota ini, kebanyakan memang dihuni oleh orang-orang tua. Generasi mudanya, lebih memilih merantau untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kota kecil di daerah pesisir ini.. telah kehilangan masa kejayaannya.

"Rumah sakit terdekat," ujar Azka tiba-tiba.

"Apa?"

"Dimana rumah sakit paling dekat?" ulang anak itu dengan wajah bingung.

"Buat apa? Kamu sakit?"

Azka mengalihkan pandangan , "gak." Kemudian berjalan lagi meninggalkan Yudhis. Azka hanya takut, kalau terjadi sesuatu dengan Yudhis. Ia harus berjaga-jaga. Yudhis akan lebih cepat tertolong kalau ia tahu dimana rumah sakit terdekat.

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang