7

173 28 6
                                    

Entah bagaimana awalnya, Diandra tiba-tiba terpikirkan untuk mencari Dad di toko buku. Mungkin lebih tepat disebut sebagai upaya mencari jejak Dad. Ide itu tiba-tiba melintas di otaknya kala melihat berita di instagram, bahwa seorang tokoh di Inggris menerbitkan sebuah buku berisi hasil jepretannya.

Bisa jadi kan, Dad juga menerbitkan buku? Atau mungkin salah satu jepretan Dad masuk ke dalam salah satu buku yang berada di rak ini. Siapa tau, Diandra bisa menemukan alamat, nomor telepon, alamat sosial media, website atau apapun itu. Harapan Diandra begitu besar untuk clue sekecil apapun.

Gadis dengan kemeja putih itu melihat rak buku di depannya dengan tatapan penuh harap. God, help me please. Rapal gadis itu dalam hati sebelum mengambil sebuah buku yang terletak di rak paling atas, paling kiri. Buku itu sudah tidak tersegel. Diandra bisa langsung melihat isinya.

Menit demi menit berlalu. Sudah hampir dua jam ia mengobrak-abrik buku di rak. Satu persatu ia buka dan amati dengan teliti. Buku yang telah dibaca, ia letakkan di sampingnya. Hingga menghasilkan tumpukkan buku yang semakin tinggi. Gadis itu menghela nafas lelah. Kedua netra itu sudah pedih. Namun belum menemukan petunjuk apapun. Kenapa semuanya terasa sia-sia?

Berulang kali ia berdoa. Berulang kali pula, ia menyebut nama Tuhan sebelum mengawali usahanya. Namun tetap saja. Semua terasa jalan ditempat.

 Semua terasa jalan ditempat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Azka." laki-laki yang dipanggil namanya hanya menggumam. Tak mau mengalihkan wajah barang sedetik dari layar laptop di depannya. Ia masih bermain game dengan sangat fokus dan semangat tanpa mengindahkan panggilan Yudhis.

Sementara Yudhis, ia menatap punggung adiknya takut-takut. Ia telah berpikir berulang kali seharian ini. Sebenarnya hanya permasalahan sederhana. Tapi tidak sederhana kalau permasalahan ini dikaitkan dengan Azka.

"Ibu.. Ibu mint-"

"Enggak!" Azka memotong pembicaraan laki-laki yang lebih tua darinya itu. Ia sudah tahu arah pembicaraan ini. Azka bahkan sudah menyiapkan diri kalau-kalau Yudhis akan membicarakan soal Ibu lagi. Laki-laki yang sedang bermain game itu juga mendapatkan pesan dari Ibu pagi ini. Pesan yang hanya ia baca. Kemudian tak terbalas seperti pesan-pesan Ibu yang lain.

"Dengar dulu. Ibu minta kita pulang, katanya kangen."

"Aku tahu, Ibu juga bilang gitu ke aku." Azka berbalik. Menatap sang kakak dengan tatapan tajam.

"Sudah tiga tahun kita gak ketemu Ibu, Ka. Bahkan hari rayapun kita gak pulang."

"Apapun alasannya, Mas. Kalau soal Ibu, jawabanku akan tetap sama. Enggak. Harusnya Mas Yudhis udah tahu, gak perlu nanya pertanyaan yang diulang-ulang terus." Nada bicara laki-laki itu meninggi.

"Azka, kita harus berhenti perlakukan Ibu kayak gini!"

"Terserah, yang jelas aku gak mau pulang!"

Yudhis menggeram kesal. Tangannya terkepal erat. Selalu saja, selalu saja berakhir seperti ini jika membahas soal Ibu dengan adiknya. Seolah masalah ini tak pernah usai.

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang