39

173 23 12
                                    

"Karena kamu udah di sini, aku tinggal, ya?"

Azka berbalik, menatap Banyu dengan pandangan memohon, "jangan, Nyu."

Banyu mengusap bahu pria itu. Ia ingin memberikan waktu berdua untuk Azka dan Yudhistira. Namun Azka masih merasa begitu canggung dengan kakaknya sendiri. Pertengkaran mereka, dan silent treatment selama dua bulan, ternyata begitu dahsyat efeknya.

"Aku ada rapat penting-"

"Banyu!" Banyu terkekeh melihat Azka yang merajuk seperti anak kecil.

"Kenapa? Kamu takut sama masmu sendiri?" Banyu kembali dalam mode jahil. Netranya melirik Yudhis yang masih tenang dalam bunga tidur.

"Aku..., siapa tahu aku...,"

"Kamu harus bicara sama Mas Yudhis, Ka. Aku gak mau ganggu." Banyu menghadiahkan senyum tipis. Kemudian menepuk pundak Azka pelan dan berlalu pergi. Azka hanya bisa pasrah menatap punggung kawannya yang hilang ditelan pintu.

Azka mendongak. Menatap darah dalam kantong yang dialirkan ke dalam tubuh Yudhis. Itu darahnya. Fakta yang semakin membuatnya merasa miris. Hanya karena Diandra, hubungan persaudaraan mereka bisa rusak.

Azka hampir menangis kala melihat betapa mengenaskannya keadaan sang kakak. Wajahnya begitu pucat. Membuat Azka memikirkan yang tidak-tidak. Ketakutan setengah mati. Mendadak ia merasa begitu jahat. Bagaimana bisa ia meninggalkan kakaknya selama itu, sedangkan Yudhis hampir tidak pernah baik-baik saja ketika sendiri. Membuatnya terus merutuki diri sendiri dengan mengatakan, Azka bodoh!

Semarah apapun Azka kepada Yudhistira, ia tetap kakaknya. Orang yang menggantikan peran Ayah dan Ibu. Orang yang mendapatkan penghormatan tinggi darinya. Bahkan ia masih merasa begitu berdosa setelah bersikap kurang ajar. Membuatnya berusaha menebus kesalahan, dengan memindahkan Yudhis ke ruang VIP. Semoga Yudhis tidak tahu. Ia takut Yudhis akan menolak jika tahu ruangan ini darinya. Azka hanya ingin sang kakak beristirahat dengan nyaman. Ruang kelas tiga selalu banyak orang, berisik dan panas.

Azka tahu betul, ini bukan apa-apa jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan Yudhis untuknya. Namun Azka hanya berusaha berbakti semampu yang ia bisa.

"Ka?" mendengar namanya dipanggil, pria yang tadinya melamun itu menoleh ke belakang.

"Ya, Nyu?" namun Banyu tidak ada. Pasti jahil lagi. Membuatnya melangkah mendekat ke arah pintu. Namun seseorang memegang tangannya. Membuat Azka menghentikan langkah dan kembali menoleh. Yudhistira menatapnya dengan pandangan tak percaya. Buru-buru pria berkemeja biru itu menarik tangannya.

"Saya pergi." Azka mengambil jas di sandaran kursi. Sebelum kaki jenjang itu melangkah semakin jauh, Yudhis berusaha mati-matian untuk bangun.

"Az..., ka...," suara yang begitu lirih dan pelan itu membuat sang adik mengurungkan langkah. Sangat jelas kalau Yudhis kesulitan mengeja namanya. Membuat hati Azka terasa tak karuan. Lagi-lagi Azka berbalik.

"Ka..., Az..., ka," Yudhis ingin duduk. Namun seolah tubuhnya tak bertulang. Ia kembali jatuh di atas brankar. Membuat yang dipanggil sontak mendekat dengan gerakan cepat.

"Aku..., saya, saya ke sini cuma mau kasih kamu donor. Karena..., karena stok di PMI habis." Pria itu menjelaskan tanpa ditanya sambil membantu Yudhis kembali tidur dengan benar. Yudhis tak pedulikan penjelasan itu. Ia genggam tangan Azka seerat yang ia bisa. Berusaha membuat adiknya tahu, bahwa ia tak ingin Azka kemana-mana.

"Az...," Yudhis menjeda, "maaf."

Bola mata Yudhistira berkaca menatap adiknya. Azka luluh, ia mendudukkan diri di kursi. Menatap saudara yang ia rindukan.

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang