34

145 22 24
                                    

Azka melirik ke arah kakaknya yang berwajah kusut. Berulang kali pria itu melihat ke layar ponsel yang tak menyala karena tak ada notifikasi yang masuk. Pasti sedang menunggu pesan dari Diandra.

Soal gadis berdarah campuran itu, Azka tak berani mengkonfirmasi. Takut kalau jawaban Yudhis bukan jawaban yang ia cari. Apa yang dikatakan Diandra memang sangat masuk akal. Mengingat bagaimana jatuh cintanya Yudhistira dengan Diandra.

Pria itu memilih duduk di depan laptop. Mencicil tesisnya supaya segera lulus. Kalau terlalu lama, beasiswanya bisa dicabut. Fokusnya penuh pada layar laptop dan buku di atas meja.

Sedangkan Yudhis, ia merasa tak tenang karena gadisnya belum juga menghubungi bahkan setelah seminggu lebih telah berlalu. Karena kejadian hari itu, Diandra mendiamkannya. Katanya, Yudhis tidak ada ketika ia butuh. Membuat pria itu hanya bisa berdecak dan berusaha sabar. Sementara, ia kini sedang berada di Inggris. Perbedaan waktu, dan jauhnya jarak membuat Yudhis semakin sulit menjangkau sang kinasih.

Padahal Yudhis sudah bilang kalau ia yang akan menemani Diandra. Kala itu, Yudhis khawatir. Penipuan semacam itu, bukan tak mungkin terjadi. Makanya Yudhis memaksa Diandra untuk menunggu. Namun karena Diandra sendiri yang tak sabar, akhirnya ia ditipu. Firasatnya tepat. Tapi bagi Diandra ia tetap tersangka. Padahal hari itu, Yudhis sedang melayani klien darurat hingga malam. Ponselnya tentu tidak aktif.

Namun diam-diam, Yudhis berbisik senang. Karena meskipun Diandra ditipu, itu artinya masih ada waktu bagi mereka. Terdengar jahat memang. Namun nyatanya ini memang melegakan bagi Yudhis, yang belum mengerti kemana hubungan mereka akan dibawa.

"Azka." Panggilannya terjawab dengan gumaman. Azka tak mengalihkan pandang dari laptop.

"Menurutmu..., gimana Mbak Diandra?"

"Biasa aja," balas Azka acuh. Suara ketikan keyboard terdengar memenuhi kamar. Menjadi backsound percakapan kakak beradik itu.

Yudhis berdecak malas, "kamu setuju kan, kalau Mas menikah sama Mbak Diandra?"

Tiba-tiba bunyi keyboard tak terdengar lagi. Jari-jari Azka membeku. Apakah Yudhis akan pergi ke Inggris sebentar lagi?

Azka adalah adik Yudhis. Kakaknya harus meminta izin ketika akan menikah. Begitupun Azka sendiri. Itu yang pernah ditekankan oleh Ayah dan Ibu. Jantung Azka berdebar. Apakah jika ia mengatakan tidak, Yudhis akan mundur? Atau, bagaimana jika Yudhis tetap akan menikahi Diandra, bahkan jika Azka mengatakan tidak? Pasti hatinya akan semakin sakit. Azka seolah sedang berada di persimpangan jalan. Namun juga ingin tahu jawabannya.

Azka meneguk ludah sambil melirik dari ujung mata, "gak."

Yudhistira yang semula rebah di atas kasur sontak menegakkan tubuh. Ia tatap punggung adiknya. Tercengang dengan jawaban Azka. Ia pikir, sikap ketus Azka ketika di Tawangmangu kala itu hanya karena mereka belum saling mengenal. Namun ternyata, setelah beberapa kali mempertemukan Azka dan Diandra, tak ada perubahan sikap pada adiknya. Juga soal Azka yang memanggil Diandra tanpa kata sapaan, yang menurut budaya terasa tidak menghormati. Ternyata ada alasan dibaliknya.

"Kok..., gitu?"

"Gak sadar ya, kalau keyakinan kalian beda?"

Azka berujar ketus. Yudhis mendesah kasar sambil mengusap wajah, "tapi kami bisa menikah di Inggris, Ka. Di sana, pernikahan beda agama itu legal."

Kali ini Azka yang terkejut. Badannya berbalik cepat. Dengan kedua mata yang menatap Yudhis tajam dan alis yang hampir menyatu ia berujar, "gila, ya!"

Azka tak pernah mengira kalau Yudhis akan senekat ini. Kadar bucinnya ternyata sudah dalam level tidak wajar. Memangnya apa sih, kelebihan Diandra itu. Sampai-sampai kakaknya yang di mata Azka selalu terlihat luar biasa ini bak orang kehilangan akal? Yudhis yang biasanya penuh pertimbangan, kini bak orang yang hanya mengedepankan ego.

Azka sama sekali bukan orang yang religius. Namun ia masih bisa membedakan mana yang salah, dan mana yang benar. Hukum negara bisa mereka lawan, namun sudah seberani apa mereka, hingga berniat melawan hukum Tuhan?

Teman-temannya yang berasal dari keluarga dengan agama berbeda, punya keyakinan yang terombang-ambing. Semua dari mereka, orang tuanya bercerai. Bagi Azka, sampel itu sudah cukup bagi observasinya. Azka tak mau hal itu terjadi kepada sang kakak.

"Ka, kami akan baik-baik aja, meskipun ada dua agama dalam satu keluarga. Kami bisa toleransi, kok!"

"Toleransi itu ibadah, Mas. menikah juga. Tapi menikah beda agama itu dilarang Tuhan. Mana mungkin, Mas Yudhis beribadah, tapi disaat yang bersamaan juga sedang melawan Tuhan? Mas ini bodoh atau apa?"

Kedua mata sang kakak melebar. Memandang adiknya dengan tatapan tak percaya. Yudhis seolah tak mempercayai telinganya. Apa yang barusan adik kesayangannya katakan? Bodoh? Azka sudah melewati batas. Setelah apa yang ia lakukan selama ini untuknya, apakah sikap tidak sopan menjadi balasan yang pantas?

"Mas Yudhis udah gila, ya? Karena Diandra? Berani-beraninya punya niat seperti itu. Mas udah ngapain aja sama dia? Memang benar, anak Ibu!" Azka menutup laptopnya keras. Yudhis semakin tercekat dengan kata-kata adiknya. Secara tidak langsung, Azka sudah menuduhnya melanggar batas.

"Azka!" Yudhis memandang adiknya nyalang, "kamu sekarang berani kurang ajar, ya, sama Mas?"

Seketika Azka tersadar. Kata-katanya sudah kelewatan. Kedua tangannya mengepal menahan kekesalan. Azka tahu, ia salah. Namun itulah yang ada di kepalanya. Hening sejenak memeluk. Keduanya saling berusaha menata emosi.

"Mas tetap mau lanjut?" kali ini suaranya jauh lebih pelan.

"Tentu." Yudhis menjawab dengan yakin.

"Kalau gitu, Mas gak ada bedanya sama Ibu!"

Pria itu buru-buru memasukkan laptop dan buku yang sejak tadi menguping pertengkarannya dengan Yudhis ke dalam tas ransel. Kemudian menutup resletingnya dengan kasar. Ketika itulah Yudhis kembali berbisik penuh penekanan, "Mas juga berhak bahagia, Azka."

"Jadi selama ini Mas Yudhis gak bahagia? Karena aku?" Nada bicara Azka kembali tinggi. Ransel hitam itu telah tersampir di lengannya. Azka menatap Yudhis dengan tatapan kecewa dan jari telunjuk yang mengarah ke dada, "aku gak pernah ada niat buat Mas gak bahagia. Aku selalu ikut bahagia, kalau Mas bahagia. Tapi cara Mas kali ini salah."

"Pada akhirnya yang menjalani pernikahan itu Mas Yudhis dan Mbak Diandra!" Yudhis tak mau kalah untuk membentak.

"Benar. Tapi aku juga punya kuasa untuk membenarkan kalau Mas Yudhis udah melewati batas. Aku gak mau Mas punya keluarga yang berantakan. Cukup berhenti di kita, Mas. Jangan sampai, anak-anak Mas Yudhis nanti, keponakanku, merasakan apa yang kita rasakan!"

"Belum tentu, Ka. belum-"

"Yaudah, sana! Nikahi Diandra kalau Mas Yudhis udah yakin, dan merasa gak perlu mendengarkan aku lagi. Sana, pergi ke Inggris dan gak usah ketemu aku lagi."

Azka berjalan pergi. Suara bantingan pintu terdengar kemudian. Yudhis hanya mampu memandangi pintu tua yang sudah rapuh itu dibanting adiknya.

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang