4

220 26 7
                                    

"Kamu lagi ngapain, Banyu?" ujar Yudhis dari belakang seorang laki-laki yang tengah mengintip di pagar. Laki-laki itu menoleh, lalu menarik tangan Yudhis untuk lebih mendekat kepadanya. Mengajak laki-laki berkacamata itu untuk menunduk. Menyembunyikan tubuh mereka di antara pagar yang penuh dibungkus oleh tanaman merambat dengan bunga-bunga merah yang sedang mekar. Mereka mengintip dari celah-celah daun yang cukup rimbun.

"Lihat, Mas! Ada bule. Eh, bule bukan ya? Kayak bule, tapi masih ada wajah indonya. Ah, gak tau lah. Yang penting cantik!" ujar Banyu. Yudhis menggelengkan kepala. Anak ini, masih saja. 4 tahun ia mengenal Banyu. Sejak anak yang seumuran adiknya itu masih mahasiswa baru hingga sekarang, akan segera lulus. Masih saja, ganjen.

"Ini masih pagi, Banyu. Udah godain cewek aja." Yudhis melihat ke arah gadis berkulit putih itu. Ia tengah duduk di meja teras sambil menikmati sarapan pagi.

"Aku gak godain kok, Mas. Mana berani. Bule gitu, pasti nanti aku dikatain cat apa lah itu."

"Cat calling." Koreksi Yudhis.

"Nah, itu. Jadi yaudah, aku liatin aja dari sini."

Yudhis berdiri. Merapikan kemeja putih dan celana bahan yang ia kenakan hari ini. Ia harus segera pergi kalau tak mau ketinggalan kereta. Hari ini, ia ada tugas untuk mengadakan tes bagi anak-anak SD di kota sebelah. Ia dan temannya, akan bertemu di stasiun Lempuyangan. Jadi ia harus cepat.

"Mas, mau kemana? Sini dulu!" Banyu menarik tanganya. Yudhis yang tak siap hampir jatuh. Namun Banyu tak peduli. Ia tetap meminta Yudhis untuk menemani melihat gadis cantik di kos seberang itu.

"Mau kerja lah, Banyu! Aku udah telat." Ujar Yudhis.

"Nanti dulu, Mas. Ini tuh penyemangat!"

"Penyemangat apanya? Lagian, ini tuh gak sopan."

"Orangnya gak tahu kok, Mas."

"Mas Yudhis, Mas Banyu? Kaliang ngapain?" keduanya sontak terkejut. Bak maling yang ketahuan melakukan hal tercela. Banyu dan Yudhis langsung bangkit berdiri. Yudhis bahkan sempat oleng. Laki-laki itu hampir terjatuh sambil memegangi kepalanya yang sedikit pusing. Untung tanganya menemukan tangan Banyu. Banyupun dengan sigap memegang tubuhnya.

"Mas Yudhis, gak apa-apa? Mau ibu panggilkan Mas Azka?" ujar Ibu kos. Orang yang mengejutkan mereka. Yudhis menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Mengulangi kegiatan itu beberapa kali. Laki-laki itu membenarkan kacamata yang sedikit melorot sambil tersenyum.

"Gak usah, Bu. Saya gak apa-apa. Saya berangkat kerja dulu. Duluan ya, Nyu!" ujar Yudhistira sambil berjalan ke arah motornya. Tak mau menerima berbagai pertanyaan dari Ibu Kos.

"Yakin mau berangkat sekarang, Mas?"

"Aku bilangin Ibumu ya, kalo beliau kesini besok pas wisudamu." Ujar Yudhis sambil mengeluarkan motor maticnya dari garasi. Banyu mencebik kesal. Sedangkan Yudhis terkekeh kecil.

Motor yang dibawa Yudhis makin lama makin menjauh. Laki-laki itu menghela nafas berat. Akhir-akhir ini tubuhnya makin payah saja. Ini memang salahnya. Tak melakukan check up secara rutin. Kalau ia ke dokter sekarang, mungkin akan menerima transfusi lagi.

Apalagi hari ini, jantungnya berdebar keras. Kepalanya lebih sakit dari biasanya. Tubuhnya lemas luar biasa dan seakan belum cukup, nafasnya ikut-ikutan berat entah mengapa. Namun Yudhis tetaplah Yudhis yang tak mau membuat Azka khawatir. Ia tahu jelas, anak itu hanyalah kebesaran gengsi. Yudhistira tahu, kalau setiap hari Azka itu memperhatikannya. Meskipun dengan cara yang sembunyi-sembunyi. Yudhis hanya diam. Tak mau membuat Azka malu dan menggoda anak itu dengan mengatakan, "khawatir ya, kamu?". Sudah pasti Azka akan mencak-mencak, marah dan tak mau menemuinya lagi. Sama seperti sekarang.

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang