18

162 24 14
                                    

"Laper," gumam pria dengan rambut berantakan itu. Perutnya terus berbunyi minta diisi. Namun yang ia lakukan hanyalah terbaring di atas tilam. Memandang langit-langit kamar dengan pandangan kosong seolah berharap akan ada makanan jatuh dari sana.

Azka menoleh ke arah Yudhis yang tumben sekali tak menggubrisnya malam ini. Apalagi ketika ia mengeluh kalau perutnya lapar. Padahal biasanya kakaknya itu langsung cepat tanggap kalau soal ini. Namun Yudhis seolah begitu asyik dengan dunianya sendiri. Tersenyum tipis sambil mengetikkan sesuatu di ponsel. Kedua mata sehitam malam itu tak lepas dari layar ponsel sejak tadi. Tak mempedulikan kode keras dari sang adik kesayangan sama sekali.

Azka mencebik sambil memutar bola mata dengan kesal. Padahal ia sangat berharap Yudhis untuk peka. Tubuhnya lelah sekali hari ini. Pekerjaan menumpuk. Membuatnya malas melakukan hal lain selain rebahan. Namun harapan itu kandas. Yudhis bahkan sepertinya tak mendengar keluhannya. Apalagi beranjak keluar untuk membelikan makanan.

Aku sudah banyak baca soal wayang

Kalimat itu membuat Yudhis tersenyum tipis. Teringat wajah cantik gadis itu ketika bertanya soal wayang. Terlihat begitu penasaran. Juga sorak gembiranya ketika mengatakan, "ini kamu, Yudhis!" Membuat pria itu merasa geli.

My favourite character, Yudhistira. The honest man. A man who never lie. That's rare, isn't it?

Laki-laki itu terkikik di tempatnya. Padahal Diandra memuji tokoh Yudhistira dalam pewayangan. Namun malah ia yang merasa berbunga-bunga. Yudhis mungkin hanya terlalu percaya diri. Merasa sangat spesial. Diantara banyaknya tokoh pewayangan yang ada, kenapa Diandra memilih Yudhistira? Bukan si tampan Arjuna, atau Rama yang terkenal dengan kisah cintanya dengan Sinta. Boleh kan, kalau Yudhis merasa itu bukan suatu kebetulan?

"Ka, kamu cari makan sendiri ya? Mas mau keluar dulu sebentar." Pria itu bangkit berdiri dari atas karpet. Yang diajak bicara hanya melirik dengan tatapan memelas. Bak anak kecil yang akan ditinggal Ayahnya pergi bekerja, namun ia tidak diajak.

Yudhistira mengajak gadis itu pergi keluar untuk mencari makan setelah Diandra mengeluh bahwa ia lapar. Sekalian saja, ia ajak makan makanan khas Jogja. Tentu gadis berdarah campuran itu akan senang. Bukankah itu yang biasa dilakukan para turis?

Yudhistira mengganti bajunya dengan cepat. Tak lupa menyemprotkan parfum ke tubuh. Bau kopi yang pernah ditanyakan Diandra seketika semerbak ke seisi kamar mungil yang ia tempati. Namun setelah itu Yudhis malah mengernyit. Kemudian berbalik menghadap sang adik, "Ka, berlebihan gak sih baunya?"

"Enggak," Azka menjawab malas namun jujur. Masih kesal karena tak dibelikan makanan. Yudhistira tersenyum puas. Tak perlu takut menyakiti hidung Diandra karena terlalu banyak menyemprotkan parfum.

Yudhis berganti menyisir rambut. Bahkan mengoleskan pomade agar surainya tetap rapi. Namun senyum di bibir yang selalu pucat itu tiba-tiba luntur. Kala ia menatap wajahnya di depan cermin. Sang pria memperhatikan pantulan wajahnya sendiri lamat-lamat selama beberapa detik. Rasa tidak percaya diri perlahan muncul dan semakin membesar.

"Ka? Mas jelek ya?"

Azka yang tengah memainkan ponsel sontak berhenti. Ini bukan Yudhis sekali. Kenapa tiba-tiba kakaknya jadi memperhatikan penampilan? Sejauh yang Azka tahu, Yudhis sudah merasa cukup dengan pakaian bersih, rapi dan wangi yang ia kenakan setiap hari. Tak pernah mengeluh tentang apa yang ada pada dirinya. Yudhis tampan. Bahkan teman-teman wanitanya mengakui itu. Jadi untuk apa Yudhis mengkhawatirkan penampilannya lagi? Bahkan jika tidak sedang berdandan pun, gadis-gadis akan dengan mudah tertarik padanya. Meskipun lebih ganteng aku, sih. Batinya terlalu percaya diri. Namun benar. Validitasnya sudah diakui banyak orang.

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang