29

130 20 6
                                    

 "Kenapa, Di? Pacarmu lagi?" Gadis itu mengalihkan pandangan dari burung-burung gereja yang berjajar di kabel listrik. Saling bercakap dengan mengeluarkan bunyi cuit-cuit yang hanya mereka mengerti. Berlatar langit sore yang berwarna biru. Tidak terlalu jingga. Tak ada candhik ayu hari ini.

Diandra mengangguk. Yulia tersenyum miring. Gadis itu mulai menjemur pakaian. Sedangkan Diandra menatap sedih dengan bibir yang mengerucut ke bawah. Gadis itu duduk di pagar pembatas yang hanya setinggi lutut. Menghadap Yulia yang sibuk dengan aktivitasnya.

"Kenapa dia?" Yulia berujar sambil memeras pakaian. Air keluar, membasahi lantai rooftop yang terbuat dari semen. Mengalir ke pinggir dan turun melalui pipa yang sengaja dibuat agar air tidak menggenang.

"Kemarin, kita hampir kiss. Tapi..., dia langsung mundur. Katanya, gak bisa. Gak mungkin kan dia gak bisa kiss?" Suara Diandra meninggi di kalimat terakhir. Yulia menghentikan pekerjaannya. Kedua matanya melebar menatap Diandra. Angin yang menerpa wajah mereka membuat suasana menjadi dramatis seperti adegan dalam film. Ia pikir, Diandra sedih karena pacarnya sakit seperti yang mereka bahas kemarin. Namun ternyata apa yang dikatakan Diandra diluar ekspektasi.

"Dia gak suka ya, sama aku?" Diandra kembali berujar dengan mata berkaca-kaca. Yulia tertawa terbahak. Suara tawa itu begitu nyaring hingga membuat burung-burung gereja yang bertengger terbang. Memutuskan kembali ke sarang. Gadis blasteran itu menatapnya dengan bingung.

"Kok kamu malah sedih sih, bule?"

"Obviously, dia buat aku malu!" Diandra kembali memaki. Ia ingat dengan semua pesan dari Yudhis yang ia abaikan. Biar saja, ia benar-benar kesal. Memangnya apa yang salah darinya hingga Yudhis tidak mau berciuman dengannya?

"Itu... artinya dia sayang sama kamu."

"Sayang apanya? I said, he won't kiss my lips! Mbak Yulia paham gak sih?" Diandra berujar kesal.

"Berarti, dia cowok baik-baik yang mau jaga kamu. Gak mau merusak. Dia benar-benar sayang sama kamu, Diandra. Bukan cuma sekedar nafsu!"

"I didn't get it."

Yulia menepuk kepalanya, "oh iya. Kamu kan bule ya! Ya Tuhan, pantas. Aku lupa."

Kedua bola mata Diandra menatap Yulia. Wajahnya jelas memancarkan kebingungan. Yulia malah membuatnya semakin bingung.

"Ingat, when you're in Rome, do as a Romans?" Diandra mengangguk. Seperti anak kecil yang sedang mendengar ceramah dari gurunya.

"Ini Indonesia, di sini... gak boleh kiss sebelum menikah. Kalau ada pasangan yang kiss sebelum menikah, dianggap hal yang tabu. Kalau laki-laki ngajak kamu kiss padahal masih pacaran, itu artinya dia nggak menghormati kamu."

"It means, he's a good boy?" Diandra kembali memastikan. Yulia mengangguk. Lengkap dengan acungan jempol. Diandra menganggukan kepala. Meskipun sebenarnya bingung. Namun seperti pepatah yang dikatakan Yulia, ia berusaha untuk mengerti. Lagi-lagi perbedaan budaya di antaranya dan Yudhis. Tapi perkataan Yulia membuat hatinya berbunga.

Yudhis mencintainya. Cinta yang tulus, bukan nafsu. Pria itu ingin menjaganya. Ia laki-laki yang baik. Kedua tangan Diandra saling tergenggam di depan wajah. Bibirnya menyunggingkan senyum malu-malu. Pipinya memerah. Yulia menatap gadis itu dengan aneh.

"Udah gak marah lagi sekarang? Kenapa? Seneng?" Diandra mengangguk.

Diandra bahkan belum berpindah ke kota lain untuk melanjutkan misinya mencari Dad. Terlanjur berat meninggalkan Jogja. Dan Yudhis adalah satu-satunya alasan. Tapi jika seperti ini, mungkin Diandra bisa mengganti rencana untuk mencari Dad. Gadis itu lebih memilih untuk tetap di Jogja agar bisa tetap bersama Yudhis. Soal pencarian, bisa ia lanjutkan melalui media online. Bukankah itu suatu kemudahan yang bisa dijadikan solusi juga?

***

"Azka! Hayu telfon," Azka yang sedang berada di dalam kamar mandi mencebik. Kedua pipinya seketika memanas.

"Mas angkat ya?"

"Jangan!" Azka membalas cepat. Nada suaranya meninggi. Yudhis terkikik geli. Azka buru-buru menyelesaikan urusannya di kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka dengan keras. Yudhis sampai terlonjak kaget. Langkah pria tampan itu panjang-panjang. Buru-buru mengambil ponselnya.

"Santai aja kali, Mas gak apa-apain kok." Azka meliriknya tajam. Ponselnya sudah mati lagi. Panggilan dari Hayu berakhir menjadi panggilan tak terjawab.

"Sana, ajak Hayu pergi." Azka meliriknya dari sudut mata sambil mengetikan pesan untuk Hayu. Yudhis tersenyum tipis ke arahnya. Sedangkan Azka sudah malu setengah mati. Ia yang dengan tegas mengatakan kalau tidak ada hubungan dengan gadis pemilik senyum secerah mentari itu. Ia juga yang mengatakan kalau tak mau berhubungan dengan seorang gadis karena memilih untuk tidak menikah. Namun, sekarang ketahuan kalau ia berkomunikasi dengan Hayu.

"Kemarin-kemarin, Mas juga pergi terus kan? Itu..., main sama Mbak Diandra. Kamu juga sana, main sama Hayu."

Azka duduk di sebelah sang kakak. Kedua tangannya bertumpu pada lutut. Wajahnya menghadap ke bawah. Tangan Yudhis mengelus punggung adiknya.

"Belum tentu, dia seperti Ibu. Tugasmu, mengenali karakternya sebaik mungkin sebelum memutuskan buat melangkah lebih jauh."

"Tapi..., katanya, anak dari keluarga broken home berpotensi punya keluarga yang broken home juga."

Yudhis mengangguk. Kini ia tahu satu lagi keresahan Azka. Wajah sang adik nampak menyiratkan ketakutan dan kekhawatiran. Yudhis paham, keluarga mereka yang hancur berantakan pasti sangat mempengaruhi Azka.

"Tapi bukan berarti semua begitu kan? Pernikahanmu bisa saja berhasil."

"Aku gak mau, kalau sampai bercerai. Anakku pasti merasakan apa yang aku rasakan sekarang. Psikologisnya..., Mas Yudhis pasti lebih tahu." Azka kembali berujar. Yudhis tersenyum teduh. Azka sadar bahwa ada yang salah dengannya. Namun memilih untuk memendam semua itu sendiri.

"Anak dari keluarga broken home bisa punya psikologis yang baik. Kalau orang tuanya tetap ambil peran dalam hidup anaknya. Sebaliknya, anak dari keluarga yang orang tuanya nggak bercerai, bisa kena gangguan psikologis juga. Kalau orang tuanya terus bertengkar. Ka, itu semua tergantung bagaimana perlakuanmu sama anakmu." Azka diam. Mendengarkan sang kakak berbicara. Yudhis kembali berujar, "Ka, Mas cuma gak mau kamu kesepian. Kesepian itu gak enak dan bisa membunuh."

Untuk beberapa saat Yudhis beri kesempatan kepada Azka untuk berpikir dan memutuskan. Sepi memeluk kamar kost kecil mereka. Kemudian, Yudhis menepuk punggung Azka beberapa kali sambil mengatakan, "Nanti kita bicara lagi soal ini. Sekarang, ajak Hayu main dulu. Keburu malam."

"Mas Yudhis butuh apa? Biar aku carikan dulu."

"Mas bukan anak kecil, Azka. Mas bisa cari sendiri. Mas juga gak lagi sakit. Buruan pergi." Yudhis tertawa kecil. Azka mengangguk. Lalu mengetikan pesan dan berganti baju. Tak lama kemudian, ia telah siap. Sebuah kaos hitam dengan jaket berwarna hijau army. Lengkap dengan jeans. Nampak pas di tubuh tinggi dan proporsional pria itu.

"Pakai jam tangan dulu, Pak Bos!" Yudhis menyerahkan jam tangan tua milik Ayah. Azka menatap jam tangan itu penuh arti selama beberapa saat. Ia diam saja ketika Yudhis mengenakan jam tangan itu di pergelangan tangan kirinya.

"Mas... gak apa-apa kalo aku tinggal sendiri?" Azka kembali bertanya. Yudhis memutar bola mata.

"Kamu pikir Mas selemah apa sih, Ka?" Yudhis lama-lama jengah juga. Kedua tangan pria itu terpaku di pinggang. Menatap sang adik kesal. Azka menunduk. Sadar kalau telah salah melempar pertanyaan.

"Mas bukan bayi. Udah sana." Yudhis mendorong adiknya keluar kamar. Menunggunya mengenakan sepatu, lalu berujar, "have fun!" ketika Azka melangkah menuruni tangga. Bibir Yudhis tersenyum puas. 

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang