17

156 29 11
                                    

Yudhistira dan Asha mendadak tegang. Beberapa orang dengan baju polisi masuk. Mereka menuntun seorang pria dengan baju tahanan. Yudhis dan Asha sama-sama melihat ke arah pria itu. Tidak terlihat jahat sama sekali. Wajahnya biasa saja. Tidak seperti gambaran penjahat dalam film. Bahkan jika berpapasan di jalan, Yudhis mungkin tidak akan mengira kalau ia telah menjadi 'alat' malaikat maut untuk mengambil nyawa seseorang.

Yudhis bisa merasakan bahwa Asha merapat ke arahnya. Separuh tubuh gadis itu bahkan tanpa sadar telah bersembunyi di balik punggung Yudhis. Namun matanya tak mau lepas memperhatikan orang-orang yang baru datang itu. Menatap ingin tahu.

"Mas.. Mas.. ih, gimana?" bisik gadis itu sambil meremas kemeja Yudhis.

"Dia lihatin kamu, Sha. Pasti mau diajak kenalan tuh." Yudhis masih sempat-sempatnya menggoda di tengah situasi menegangkan ini. Membuat Asha yang kesal menampar lengannya pelan. Laki-laki itu menahan tawa.

"Yudhis?" ujar Pak Hanif memberi kode. Pria dengan kemeja hitam lengan panjang itu tersadar. Ia mengangguk dan berujar, "baik, Pak." Kemudian meraih alat tes yang telah ia siapkan. Kedua kakinya terayun meninggalkan Asha yang ketakutan karena kehilangan tempat bersembunyi.

Yudhis membuka pintu, kemudian masuk ke ruangan dimana tes dilaksanakan. Ia akan mengadministrasikan tes intelegensi sebagai bagian dari visum et psikiatrikum untuk seorang tersangka pembunuhan. Dua orang polisi berjaga-jaga. Mereka ikut masuk ke dalam ruangan. Mengikuti si tersangka.

"Selamat pagi," Yudhis menyapa. Memperlakukan orang itu dengan biasa. Tak ada balasan yang ia dapat. Hanya tatapan sinis dan kesal.

Orang itu duduk di kursi tepat di depan Yudhis. Sedangkan dua orang polisi akhirnya berjaga di luar karena takut mengganggu jalannya tes. Yudhis tetap tenang. Ia tidak setakut Asha. Pria itu yakin, kalau tersangka pembunuhan ini, tidak memiliki niat buruk kepadanya.

"Silahkan isi nama dan identitas diri dengan lengkap pada lembar jawab," jelas Yudhis setelah menjelaskan peraturan tes. Laki-laki itu melaksanakan perintahnya.

Tes mulai berlangsung. Laki-laki itu mulai mengerjakan soal dengan pensil yang diberikan Yudhis. Sang tester mengawasi. Hingga tiba-tiba, pria berbaju tahanan itu bertanya, "ini jawabannya apa?"

Yudhistira tersenyum, "saya tidak bisa kasih tau jawabannya. Anda harus kerjakan sendiri."

Kedua mata pria itu menajam. Seolah ingin memberi peringatan kepada Yudhis. Namun yang ditatap tetap saja tenang seolah tak terusik.

"Asu!" Pria itu mengumpat dalam bahasa Jawa. Yudhis jelas tahu artinya apa. Senyum di wajah Yudhistira hilang. Ia menatap pria di depannya dengan tatapan datar.

"Tolong jaga sikap anda!" namun pria yang duduk di depan Yudhis itu tiba-tiba melompat ke atas meja. Membuat Yudhis sontak mundur. Belum cukup sampai di situ, si klien mencengkram kerah Yudhis. Menarik pria itu dan membenturkan Yudhis ke tembok dengan kasar. Diam-diam Yudhistira bersyukur karena kepalanya tak terbentur. Tapi sepersekian detik kemudian, ia malah dibanting ke lantai. Kacamatanya jatuh, dan pria yang menyerangnya menginjak benda itu. Benda yang sudah membantu Yudhis melihat selama beberapa tahun belakangan, hancur dalam sekejap.

Merasa bahwa ia dalam bahaya, Yudhis memilih untuk berteriak mencari pertolongan. Dua orang polisi yang berjaga di depan pintu merangsek masuk. Mereka buru-buru memisahkan si tawanan dari Yudhis. Kemudian menyeretnya keluar ruangan dengan paksa.

Yudhistira duduk dan mengatur nafas. Ini terlalu tiba-tiba. Ia mengumpat dalam hati. Kalau saja tidak ada anemia aplastik dalam tubuhnya, ia pasti bisa melawan tanpa takut terluka. Tangannya mengambil serpihan kacamata yang telah hancur. Frame hitamnya patah menjadi beberapa bagian. Lensanya, jangan ditanya lagi.

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang