Di tengah sepinya lorong, suara perdebatan dua orang mahasiswi terdengar samar-samar. Membuat pria itu memelankan langkah. Mengintip dari balik tembok, untuk menguping.
"Please, Dru. Tolong aku. Kali ini..., aja aku titip absen."
Tentu dosen itu tak sembarangan menguping. Tadi, ia mendengar namanya disebut. Sekarang, ia mendengar rencana pelanggaran. Jadi ia memutuskan untuk bersembunyi sambil mengamati. Siapa kiranya gadis berkemeja kuning cerah yang sedang memohon kepada kawannya itu.
"Kamu kan tau sendiri, Pak Yudhis itu selalu minta resume di akhir kelas."
"Buatin sekalian," si gadis berkemeja kuning kembali merengek. Menimbulkan dengus kasar dari kawannya yang sudah nampak lelah menanggapi. Ia kemudian menambahi alasan, "aku tuh..., ada perkumpulan organisasi. Aku tuh..., orang penting. Kalau gak dateng, rapatnya gak mulai. Bayangin..., ada berapa banyak orang yang nunggu."
Kirani menjelaskan dengan dramatis. Mengangkat tangan, sambil memberikan nada-nada dalam kalimatnya. Seolah sedang berakting dalam panggung opera.
"Yaudah, iya!" sorakan girang terdengar setelah kalimat pendek tanda persetujuan itu. Yudhis hampir keluar dari persembunyian, namun urung kala si gadis kembali berujar.
"Lagian, Pak Yudhis tuh ngeselin banget, sih! Dia kasih kuliah umum sore-sore begini aja udah ngeselin. Masih ditambah bikin resume."
Yudhis tertawa kecil di tempatnya. Ia tak marah. Ini sudah menjadi konsekuensi kala memutuskan untuk menjadi dosen. Jadi hal-hal semacam ini, hanya ia jadikan hiburan setelah pekerjaan yang melelahkan.
Setelah dinyatakan sembuh total berkat transplantasi sumsum tulang belakang dari Azka, ia memutuskan untuk mengawali hidup yang baru. Kembali optimis seperti sedia kala. Yudhis memilih untuk mengambil pekerjaan sebagai dosen. Menyebarkan sedikit ilmu psikologi yang ia ketahui. Lalu juga membuka praktik di klinik yang dijanjikan ibu.
Ia kembali menata ulang hidupnya. Yang ia rasa kini jauh lebih baik. Dengan Azka dan Ibu. Di rumah masa kecil. Juga pekerjaan yang ia suka. Semua terasa sempurna.
Yudhis kala itu salah mengira. Ia pikir tugasnya selesai. Padahal masih banyak janji-janji yang belum ia penuhi. Janji untuk selalu ada bagi Azka, janji untuk menolong banyak orang, janji untuk mengurus ibu adalah beberapa diantaranya. Kala pernyataan sembuh total ia dapat, pria itu baru mengerti kalau ternyata kehidupannya justru baru dimulai.
"Yang penting ganteng."
"Ganteng kalau ngeselin buat apa? Yang jadi istrinya paling suruh review jurnal terus tuh, tiap hari."
Cukup sudah. Yudhis memutuskan kembali melangkah. Suara ketuk sepatu pantofelnya hanya dihiraukan oleh kedua gadis itu. Hingga ia semakin mendekat, Yudhis berujar, "jadi saya ngeselin, Kirani?"
Keduanya sontak terkejut kemudian lari menuruni tangga. Yudhis mengikuti langkah mereka hingga di ujung tangga. Melongok ke bawah, melihat anak asuhnya yang lari pontang-panting.
"Siapa, Dru?" Teriak Kirani.
"Lah, kamu gak tau ngapain lari?"
"Kaget!"
Yudhis tertawa mendengar percakapan itu. Hingga kemudian suara berdebum membuat tawanya lenyap. Yudhis menuruni anak tangga dengan buru-buru. Suara ringisan terdengar semakin jelas. Kedua netranya yang dilapisi kacamata menangkap Kirani yang tengah bersimpuh sambil meringis sakit.
"Rani! Pak Yudhis, Ran!" Dru berujar dengan nada rendah. Niatnya berbisik, namun Yudhis tetap mendengar.
"Serius?" mata gadis itu melotot, "mati aku!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Find
RomanceDiandra pikir, Dad hanya akan pergi sebentar, kemudian kembali dengan membawa banyak hadiah seperti biasa. Namun ternyata, ia tak kembali bahkan setelah delapan tahun berlalu. Membuat gadis itu mencarinya ke Indonesia, dimana Dad berasal. Kemudian m...