40

182 21 13
                                    

Atmosfer ruang keluarga itu nampak dingin. Semuanya memilih untuk bungkam. Saling menunggu yang lain untuk berbicara. Diandra melirik ke arah Dad melalui sudut mata. Pria itu nampak rikuh. Ia tahu, setelah apa yang terjadi, tentu ada hal yang membuat pria itu merasa begitu canggung di depan anak-anaknya sendiri. Meskipun tadi, ia yang dengan tegas mengatakan bahwa sudah saatnya ia untuk bicara.

Mum tidak ada di sana. Wanita itu baru saja tidur. Dan kalimat terakhir yang Diandra dengar dari bibirnya sebelum dijemput lelap adalah, "thank you, Di. I love him, even though I hate him so badly."

Kalimat itu membuat Diandra sakit. Apakah Mum sudah tahu, apa yang diperbuat suaminya selama di Indonesia? Jika tahu, kenapa ia masih begitu mencintai Wira? Pantas saja Mum selalu ingin putrinya segera pulang. Karena ada ketakutan bahwa, orang yang ia cinta kembali diambil dari sisi.

"Ada..., sesuatu yang harus kalian tahu." setelah diam cukup lama, akhirnya Dad membuka pembicaraan.

Ketiga anaknya memusatkan pandang. Membuatnya mendesah, semakin merasa bersalah. Ia bisa membayangkan bahwa tiga orang itu tentu sedang mengutuk dirinya di dalam kepala mereka.

"Dad salah, Dad tahu itu." Pria setengah baya itu memandang Ansel, Danish dan Diandra bergantian. "Apapun alasannya."

Tak ada yang ingin menginterupsi atau menanggapi. Kali ini, sama-sama hanya ingin mendengar. Terkadang saling melirik satu sama lain. Entah apa maksudnya. Mungkin hanya berusaha untuk mengurai rasa canggung yang kian terasa.

"Tapi..., hubungan Dad dan Mum memang seharusnya sudah tidak dilanjutkan." Hening sejenak menginterupsi. "Mum, selalu mengatakan Dad melakukan pekerjaan tidak berguna. Setiap kali kita kesulitan uang, Mum menyalahkan Dad. Tanpa memberikan penyelesaian. Dia bilang Dad bodoh dan..., gak lebih baik dari dia.

"Sebelas tahun lalu, Dad bertemu dengan..., Rosa, istri kedua Dad di Korea. Semuanya terjadi begitu saja. Pembicaraan kami terasa nyambung dan menyenangkan karena sama-sama orang Indonesia. Sialnya, pembicaraan itu terus berlangsung meskipun kami sudah pulang.

"Dia sedang sedih. Kami saling curhat, dan...," Dad kembali membutuhkan waktu untuk mengatakan yang sebenarnya. Merasa begitu malu dan bodoh. "Harus Dad akui kalau, Dad jatuh cinta. Dia bisa menghormati Dad sebagai lelaki, juga memberikan dukungan penuh dengan apa yang Dad kerjakan."

Kala itu, ada rasa jemu yang Wira rasakan. Mereka sudah menikah lebih dari dua puluh tahun. Namun perilaku istrinya tak juga berubah. Meskipun sudah berkali-kali ia katakan keberatan. Tapi bukannya mencari cara supaya hubungan dengan istrinya kembali menghangat, ia malah mencari pelarian. Dan sayangnya, Rosa yang datang saat itu. Ia tak mengerti. Apakah Rosa termasuk orang yang benar di waktu yang tepat, atau orang yang benar di waktu yang salah. Atau justru malah salah semuanya. Namun yang jelas, wanita itu bisa mengisi kekosongan yang ia rasakan.

"Kenapa kalian tidak bercerai? Kenapa Dad malah pergi tanpa kejelasan seperti ini?" Ansel meluapkan kekesalannya. Baginya, figur Ayah telah lama hilang. Ia dan kakaknya telah menebak apa yang dilakukan Dad. Dan nyatanya, tebakan itu benar. Ia hanya menyayangkan sikap Diandra yang terlalu naif. Padahal baginya, ada atau pun tidak ada Dad di rumah, rasanya sama saja.

"Dad sudah meminta untuk cerai. Tapi Mum tidak setuju. Akhirnya..., Dad pergi."

Benar. Pergi dan tak kembali meski delapan tahun telah berlalu. Tak ada salam perpisahan atau penjelasan apapun. Hanya kecupan singkat di dahi Diandra ketika bertemu di halte. Jika waktu itu mereka tidak bertemu, apakah Dad benar-benar tidak akan berpamitan? Dan apakah dengan memandang wajah Diandra kala itu, tak cukup bagi Dad untuk mengurungkan niat?

FindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang