Say It First! | [04]

91.2K 10.9K 402
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Mohon maap unpub-publish mulu dari tadi. Banyak salah penulisan sudut pandang nih dari orang ketiga tetiba jadi aku. Huhu. Gara-gara kemarin pakai sudut pandang pertama jadi begini 😭 kalau ada yang salah, tandain aja yaaa. Nanti aku benarkan di laptop. Timaaci ❤️

***

Chiasa masih duduk di meja makan sambil memandang layar ponselnya yang terus menyala. Mungkin ini telepon ke ... dua puluh kali, atau lebih. Ray terus menghubunginya sejak semalam, tapi Chiasa mengabaikannya.

Layar ponsel kembali meredup. Namun, belum sempat benar-benar gelap, layar itu kembali menyala. Nama Ray muncul lagi, gigih sekali laki-laki itu menghancurkan nafsu sarapan paginya.

Chiasa menyerah, meraih ponsel, tapi hanya untuk mengubah posisinya menjadi telungkup. Dia tidak bisa mematikan ponselnya karena hari ini berencana bertemu denga Prisa, seorang editor yang dikenalnya dulu.

Chiasa perlu banyak rencana untuk mengalihkan ingatannya dari Ray. Chiasa butuh banyak kegiatan untuk membuang jauh-jauh hal yang mengganggu isi kepalanya pasca putus. Chiasa ... harus mulai membiasakan diri dengan segala hal tanpa Ray lagi di dalam hidupnya. Dan tadi malam, dia memilih untuk kembali pada kegiatan yang dulu pernah ditekuninya. Menulis.

Namun ironinya, kali ini menulis bukan lagi untuk bersenang-senang seperti dulu, melainkan untuk mengenyahkan nyeri.

"Chia?" Suara Papa terdengar. Chiasa tidak melihat kapan Papa menuruni anak tangga, tiba-tiba saja beliau sudah berada di pantri seraya membawa dua mug mendekat ke arahnya. Padahal, seharusnya pagi ini Chiasa menghindari Papa, karena matanya pasti terlihat sembab setelah menangis agak lama semalam.

"Mau berangkat sekarang?" tanya Chiasa.

"Iya. Kenapa? Mau Papa bikinkan sarapan?" tanyanya saat sudah duduk di depan Chiasa.

Chiasa menatap sarapan roti gandum tanpa selai di tangannya. "Nggak usah." Dia tidak berusaha menutupi apa pun yang terlihat tidak biasa di wajahnya. Satu-satunya orang yang hidup di dunia untuknya adalah Papa. Jadi, bukankah seharusnya beliau tahu apa pun tentangnya?

"Okay. Papa mau sarapan di Blackbeans aja kalau gitu," ujarnya dengan tatapan yang masih menatap layar ponsel. Setelah meneguk habis air putih di mugnya, beliau mengangkat wajah, seolah-olah sadar sedang diperhatikan. "Kenapa?" Papa meraba wajahnya. "Ada yang salah?"

Chiasa menggelen. Padahal jawabannya ... banyak. Banyak sekali. Wajah yang semakin hari tampak semakin lelah dengan kantung mata yang berat itu, garis kerutan yang semakin banyak di sudut matanya saat tersenyum, juga rambut-rambut putih yang mulai terlihat menyelip di dagu. Tidakkah seharusnya beliau memikirkan bagaimana akan menghabiskan masa tuanya nanti?

Say It First!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang