Say It First! | [16]

70.6K 10.8K 1.4K
                                    

Hai 🙂

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hai 🙂




Katakan sesuatu. Apa pun.

***



"Cari ini?"

Suara paling menyeramkan yang pernah Chiasa dengar. Lalu, saat bertemu tatap, Chiasa menemukan tatapan paling menusuk yang pernah dia lihat seumur hidupnya.

"Punya lo, kan?" tanya Janari lagi.

Tentu tidak ada gunanya mengelak, lagi pula Chiasa sangat membutuhkan benda itu lebih dari apa pun sekarang. Namun, ada sesuatu yang bisa Chiasa simpulkan saat ini, perubahan sikap Janari dan segala ucapannya tadi adalah bentuk kekesalannya pada Chiasa atas notes yang kini berada di tangannya.

Juga tentang pesan singkat yang tiba-tiba mengajaknya berciuman.

Dia ... pasti sudah membacanya. Notes Chiasa itu.

"Lo ... baca?" tanya Chiasa.

Pertanyaan Chiasa membuat Janari menarik mundur tubuhnya, kembali memberi ruang untuk keduanya. Dia menatap notes merah yang masih berada dalam genggamannya. "Gue nggak akan tahu ini punya lo kalau nggak baca isinya."

Isi dari notes itu tentu saja tidak hanya tentang Janari, tapi bookmark panah berwarna merah muda yang terlihat menyembul dari sisi notes itu disisipkan di halaman paling krusial—Janari's Profile beserta segala hal tentang tulisan yang tengah Chiasa kerjakan saat ini.

Jadi, ada peluang yang sangat besar untuk Janari tanpa sengaja menemukan halaman itu lebih dulu.

"Oke," gumam Chiasa, mencoba menenangkan diri.

"Oke?" Janari mengernyit, terlihat tidak puas dengan respons Chiasa. Dia tidak terima melihat Chiasa sesantai itu, padahal siapa yang tahu kalau kini Chiasa merasakan kakinya gemetar.

"Lo udah baca isinya, kan?" Chiasa mencoba terlihat tidak gentar untuk tetap menatap mata Janari selama bicara.

"Dan?" gumam. Sejak tadi, dia mengeluarkan suara pelan, tapi ... entah mengapa terasa sangat mengintimidasi.

"Tanpa gue jelasin, bukannya lo udah tahu semuanya?"

Janari mengangguk-angguk. "Lo tiba-tiba deketin gue hanya untuk ... riset novel lo atau apalah ini namanya."

"Benar."

Janari tersenyum kecut. "Hanya itu? Di saat gue mengira dan mulai berharap kalau—" Dua tangan Janari terangkat dan menggedikkan bahu. "Oke."

"Kenapa?" tanya Chiasa. "Memangnya apa yang lo harapkan dari hubungan kita setelah tiga tahun berlalu gue mati-matian jauhin lo?" Chiasa mencoba tersenyum walau rasanya wajahnya sangat kaku. Dia berusaha membalikkan keadaan walau tahu sejak tadi gemetar di kakinya belum hilang. "Gue nggak mungkin mau deketin lo kalau masih ada pilihan lain, kan?"

Say It First!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang