***
Janari terbangun karena suara bising yang dia dengar di luar kamarnya. Setelah benar-benar sadar sepenuhnya, dia turun dari tempat tidur dan berjalan lunglai ke arah pintu keluar. Dia mendengus saat mendapati dua wanita yang dikenalnya tengah berada di pantri.
Sima, kakak perempuan satu-satunya tengah duduk di stool sambil memainkan ponsel. Sementara Ibun, panggilan pada ibunya, wanita itu tengah sibuk di balik pintu lemari es yang terbuka.
“Selamat pagi. Berisik sekali pagiku ini,” keluh Janari seraya berjalan ke arah kabinet kecil yang menggantung di pantri untuk meraih gelas, lalu mengisinya di water dispenser.
Kehadirannya membuat dua wanita itu menoleh. “Pagi? Jam sepuluh baru bangun kamu bilang pagi?” omel Ibun.
“Jam sepuluh itu masih masuk waktu pagi, Ibun,” elak Janari.
“Ya ampun, bujang. Pasti seneng banget ya kamu dizinin tinggal sendiri kayak gini karena bisa bangun pagi sesukanya?” Sima, Si Perfeksionis itu menatap Janari dengan sinis.
Setelah menenggak habis air minumnya, Janari menyahut pelan. “Seneng, dong.” Dia akan selalu menggunakan setiap celah untuk membuat kakaknya itu dongkol. “Nggak ngantor, Kak?” tanya Janari seraya mendekat ke arah ibunya. “Pagi, Ibunku.” Dia mencium pelipis wanita yang masih sibuk di depan lemari es itu.
“Ngantor lah. Ini kan hari Jumat,” jawab Sima. “Ibun minta antar ke sini karena kamu nggak bisa dihubungi. Untung aku nggak ada meeting pagi ini.” Sima bekerja di peruhaan milik keluarga, yang dikelola oleh Handa—ayahnya. Namun, dia sama sekali tidak mentolelir jika ada yang mengganngu waktu kerjanya, sekalipun itu adalah Janari, adiknya sendiri.
Janari meneleng dan menatap ibunya. “Ya ampun, Ibun khawatir sama aku?”
“Tahunya, yang dihubungi masih tidur.” Sima meraih tasnya dari meja bar. “Aku bangunin kamu dari tadi tahu! Tapi nggak mempan banget padahal pintunya udah aku gedor-gedor.”
“Ari nih kalau aja ada gempa sampai rumah mau roboh juga kayaknya nggak bakal bangun kalau lagi tidur,” ujar Ibun.
Janari tergelak seraya memeluk ibunya dari samping, tapi yang selanjutnya dia dapatkan adalah sebuah pukulan di lengan. “Eh, mau berangkat, Kak? Mau aku antar?”
Sima mengibaskan tangan setelah mencium punggung tangan Ibun. “Nggak usah. Aku bawa mobil sendiri kok,” jawabnya. “Aku berangkat. Nanti anterin Ibun ke rumah ya.”
Janari memberi hormat. “Siap.”
Melihat Sima sudah pergi, Janari berjalan keluar dari pantri dan duduk di stool yang semula Sima duduki, menghadap ibunya yang kini sudah mengeluarkan semua kotak makanan dari dalam lemari es.
“Ibun kan udah bilang, makan makanan sehat, Ri. Capek-capek lho, Ibun masakin kamu, bawain ke sini, tapi malah nggak dimakan dan basi gini.” Ibun menyimpan kotak-kotak makanan baru ke dalam lemari es.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say It First!
Romance[TSDP #2] Janari adalah orang yang paling Chiasa jauhi selama ini. Namun, karena kebutuhan riset untuk menulis novel romance, Chiasa harus kembali mendekati laki-laki itu. Chiasa bergerak diam-diam, mendekat perlahan, sampai akhirnya bisa masuk ke d...