Note: Part ini gak direvisi. Jadi, maaf kalau ada salah pengetikan.
Selamat membaca!
***
Setelah pemeriksaan selesai, Riani kembali diberi pereda nyeri dan juga penjelasan mengenai sakit yang mendera perutnya itu hanya kontraksi yang memang seringkali terasa saat usia kehamilan sudah memasuki trimester terakhir dan ditambah dengan faktor dari pre-eklampsia, maka dari itu Riani diharapkan untuk tidak merasa stress.
“Putry balik dulu. Nanti malam sebelum pulang, Putry mau ke sini buat periksa lagi keadaan Mbak,” ucap Putry sembari membereskan peralatannya.
Riani mengangguk. “Hm, makasih banyak, Put.”
“Sama-sama,” balasnya. “Permisi, Mbak, Kak,” pamitnya dan dibalas dengan senyum oleh Riani tapi lain dengan Raga yang masih bungkam sejak tadi.Surya mulai tenggelam di ufuk barat, satu persatu dari mereka yang ada perlahan-lahan mulai beranjak dari sana meninggalkan Raga dan Riani yang masih diselimuti diam. Danu awalnya menolak untuk pulang namun dengan segala bujukan, akhirnya ia mengalah. Lagipula ia juga selama dua hari ini tak mendapatkan waktu istirahat yang cukup di usianya yang sudah tak muda lagi.
“Maaf kalau kata-kata Papa tadi bikin kamu sakit hati.”
Riani memandangnya dan tersenyum. “Gak papa. Kamu juga harus minta maaf Mas karena udah ngomong make emosi sama Papa.”
Raga mengangguk dan mengukit senyum tipis di bibirnya. “Kamu jangan banyak kepikiran, ya. Biar aku sama yang lain ngurus masalah itu. Sekarang fokus kita itu kamu dan kandungan kamu.”
“Hm, maaf juga udah bikin khawa—"
“Gak papa, Riani. Gak perlu minta maaf,” selanya. “Paham? Kamu itu emang harus dijaga dab dikhawatirin. Kamu itu rapuh, Sayang,” lanjutnya.
“Kamu udah lapar?”
“Belum, Mas. Kamu belum makan dari siang, kan? Cari makan aja ke kantin atau ke kafe dekat sini.”
“Gak, nanti kamu sendirian, terus nanti kalau ada apa-apa, gimana?”
“Aku gak papa, Mas. Nanti kalau kamu juga ikutan sakit, jadi masalah lagi.”
“Masih bisa aku tahan, Riani.”
“Kalau sakit?” tantang Riani. “Repot juga kan? Udah kamu makan aja, ya?”
“Iya-iya, aku bakal makan. Tapi nanti, dikit lagi, ok?”
“Terserah kamu, Mas.”
“Iya, nanti aku makan. Tapi nanti dibawa ke sini aja, gak mau ninggalin kamu lama-lama.”
Raga mendekati Riani dan meraih tangan istrinya itu sesekali membelainya dengan lembut. Riani menarik kedua sudut bibirnya ke atas membentui senyum yan manis memandangi suaminya yang tengah menikmati sentuhan tangannya.
“Jangan sakit-sakit lagi,” ungkap Raga dengan nada pelan. “Kamu harus baik-baik aja biar aku juga ngerasa baik-baik,” lanjutnya.
“Aku janji, ini terakhir kalinya aku bikin kamu khawatir,” sambut Riani.
“Dan jangan pergi,” ucap Raga sekali lagi.
“Pasti,” balas Riani.“Kamu tau, Riani? Penyesalan terbesar aku adalah membawa kamu ke dalam masalah besar yang aku ciptain di masa lalu,” ungkap Raga merasa bersalah.
“Tapi itu cara Tuhan menguji rumah tangga kita, Mas,” ucap Riani menanggapi.
“Justru akan menjadi penyesalan kalau aku gak nikah sama kamu, Mas. Kamu berhasil buat aku jatuh cinta sedalam-dalamnya sama kamu,” imbuhnya membuat Raga terkekeh kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hallo, Mas Duda!
Literatura Feminina[FOLLOW AKUNKU SEBELUM BACA!] Raga menatap gadis di depannya ini dengan sorot mata yang agak berbeda. "Duda duda begini tapi saya masih perjaka," ucapnya pada Riani, gadis yang sedari tadi berdiri di depan meja kerjanya. "Udah punya anak tapi dibila...