Cinta adalah anak dari kebebasan, tidak pernah mendominasi.
(Erich Fromm)
🕊
Lelaki jangkung dengan rambut hitam pekat yang menyentuh tengkuk itu berjalan pelan. Menyusuri jalanan Surabaya diiringi terik matahari yang menyengat. Tak dipedulikan campuran polusi dari jalanan dan aroma jajanan kaki lima yang berkumpul menyapa kaos hitamnya.
Kepalanya dipenuhi perdebatan panjang dari pembicaraan dengan kekasihnya barusan. Lelaki itu sungguh ingin, tetapi jika harus kembali pada dirinya yang lampau, ia tidak siap. Ia telah bersumpah untuk menjadi lebih baik dengan tidak percaya. Ya, tidak percaya pada dogma apa pun, termasuk ajaran yang dipeluk erat oleh keluarganya.
Lelaki itu berhenti di depan warteg. Perutnya keroncongan sebab telah berjalan jauh dan sejak pagi tidak diisi apa pun. Sebenarnya, ia membawa motor. Namun, demi menenangkan pikiran, ditinggalkannya kuda besi tersebut dan memutuskan untuk jalan kaki saja. Tanpa arah, sesuka betisnya melangkah ke mana.
Ia memesan sepiring nasi dengan lauk tempe, ikan goreng, serta lalapan. Melahapnya perlahan, menguyah hingga halus baru ditelan. Beberapa hawa memandangnya intens, senyum-senyum tidak jelas. Ia tidak ambil pusing, sudah biasa dipandang begitu. Perpaduan Manado–Bandung yang melekat pada lelaki itu memang tak jarang membuatnya jadi pusat atensi para wanita.
Mbak Elea
Mbak udah pulang dari gereja, tadi habis dari rumah Papa juga. Kamu mau langsung balik ke rumah Mbak atau mampir ke rumah Papa? Tadi Papa bilang sama Mbak, Ibu masak banyak, kamu disuruh dateng kalau sempat.
15.02 ✔✔Fikri membaca pesan Elea---sang kakak---dari notifikasi pop up WhatsApp. Tanpa perlu membalasnya, lelaki itu juga tahu bahwa sang kakak sudah mengerti jawabannya. Ia tak pernah suka pulang ke rumah Papa, setidaknya sejak lima tahun yang lalu.
Saat hendak menandaskan piring, satu notifikasi lagi membuat layar ponselnya berkedip. Dilihat dari namanya, lelaki itu bergegas membuka pesan. Dari Afra.
Afra
Mas, Bapak mau bertemu Mas Fikri besok. Afra harap, Mas serius kali ini.
15.12 ✔✔Sekali lagi, pandangannya kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
General Fiction(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...