Teori 24

27 10 6
                                    

Agama hanyalah matahari ilusi yang berputar di sekitar manusia selama dia tidak berputar di sekitarnya.

(Karl Marx)

🕊

Bapak-bapak yang hendak melaksanakan salat Asar beberapa memandangi Fikri dengan tatapan aneh. Pasalnya, lelaki itu duduk diam di serambi masjid tanpa melakukan apa pun alih-alih bergabung dalam saf. Ia sebenarnya risi, tetapi ditahan. Sudah terbiasa mengabaikan pandangan orang lain terhadap dirinya.

Gema takbir dari mikrofon menyapa gendang telinganya. Angin hangat sore hari memainkan beberapa rambut yang jatuh di dahinya. Fikri bersandar, menikmati semilir dersik beriringan langkah kaki buru-buru para jemaah yang bergegas bergabung dalam barisan sebelum imam rukuk, tidak ingin ketinggalan jumlah rakaat.

Sesekali ia menutup kelopak mata, membiarkan alam mengambil alih tubuhnya. Beberapa kali atensinya menjelajah isi masjid, kemudian secara tidak sadar menghela napas berat ketika menyadari dirinya sudah lama tidak sujud seperti orang kebanyakan.

Allahu akbar.

Jemaah bangkit dari sujud mereka lalu berdiri, sudah rakaat ketiga. Fikri tersenyum getir ketika nama Tuhannya disebut oleh sang imam.

Tuhan, mengapa agama-Mu tidak berdaya menghadapi manusia yang berusaha mengambil alih tugas-Mu? batin lelaki itu.

Ia sekali lagi tersenyum masam tatkala mengingat perkataan Oma tentang Laura. Berkali-kali menjelekkan ibunya lantaran berbeda keyakinan dengan ayahnya, seakan tiap manusia yang berbeda mesti direndahkan. Bahkan Oma tanpa ragu menunjuk Laura lantas berkata, "Kau akan kekal di neraka selamanya!"

Fikri tidak pernah menafikan bahwa ibunya memanglah seorang kristiani. Namun, ia masih tidak berani menghukumi apakah surga atau neraka yang akan menjadi tempat terakhir ibunya dan manusia lain mendarat. Entah untuk umat Islam, Kristen, Budha, Hindu, dan agama sisanya.

Menurutnya, yang menentukan akhir tempat seseorang setelah mati adalah bagaimana akhir hidupnya. Tidak ada yang tahu seseorang mati dalam keyakinan yang sama dengan kepercayaannya sejak hidup. Tidak ada yang menjamin seorang kristiani wafat sebagai kafir dan muslim wafat sebagai muslim.

Ada hal-hal tidak pasti yang tidak diketahui oleh manusia dan itu sudah menjadi sunnatullah. Hanya Tuhan yang tahu. Lagi pula, seseorang tidak masuk surga karena amalnya. Yang Fikri yakini, manusia bisa mencapai surga karena nikmat dari Tuhan.

Jika Tuhan berkehendak, bahkan wanita yang hanya memberi minum seekor anjing saja bisa masuk surga. Jika Tuhan mau, seseorang yang amal ibadahnya tak terhitung bisa dilempar ke neraka hanya karena mengurung binatang dan tidak ingat untuk memberinya makanan.

Surga terlalu mahal untuk dibeli dengan hitungan amal. Mirisnya, terlalu banyak manusia yang merasa berhak mengeklaim bahwa nirwana hanya diperuntukkan bagi kelompok mereka saja.

Lantas, Tuhan, aku harus berdiri di ubin yang mana?

"Angin sorenya enak, ya?"

Lelaki itu terperanjat lalu membuka mata, mendapati Abah sudah duduk bersila di hadapannya dengan senyum bersahaja di wajah yang teduh. Sejak kapan Abah selesai salat? Fikri menegakkan punggung, berlepas dari posisi bersandarnya.

"Iya," jawab Fikri singkat.

Abah mengubah posisi, duduk di sebelah Fikri dan bersandar. "Sandaran lagi, Nak, nikmati anginnya selagi masih enak."

Fikri mengangguk, menurut. Punggungnya kembali menyapa tembok masjid. Matanya ia pejamkan, menikmati alunan bayu yang membelai wajahnya lembut. Beberapa lelaki paruh baya menyapa Abah, membuat Fikri tidak sepenuhnya jatuh dalam penghayatan semedinya.

Teori Cinta dari SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang