"Tuhan mengirimkan harapan di saat-saat paling putus asa. Jangan lupa, hujan terderas keluar dari awan yang paling gelap."
(Jalaluddin Rumi)
🕊
Fikri terbangun dari tidurnya pada sepertiga malam terakhir sebab mendengar gemerecik air dari luar. Ah, memang Anis sering bertahajud jika sempat, Fikri baru mengetahui hal itu.Selanjutnya, entah mengapa ia bisa mengikuti langkah kaki yang menuntunnya ke masjid, masjid yang kata Anis adalah hasil dari harapan Ahmad. Sempat ia terpaku di halaman sebelum benar-benar masuk, bertanya dalam hati apakah masih pantas? Tetapi, Tuhan selalu membuka tangan-Nya untuk yang ingin mengadu, bukan?
Malam masih sunyi dan bintang masih berpendar ketika Fikri memutuskan untuk melanjutkan langkahnya ke dalam. Pertama kali menginjak ubin teras, hatinya bergetar oleh gelenyar aneh. Lututnya tiba-tiba lemas, tetapi ia tidak diam. Meski tertatih, tetap melangkah, mencari tempat di mana hati merasa tenang. Mengikuti kerinduan yang dipendam sedemikian lama. Mencari Tuhannya.
Sebelum benar-benar masuk ke dalam, lelaki itu menuju tempat wudu dan membasuh resahnya. Ia masih cukup sadar untuk menyucikan diri sebelum masuk ke rumah Tuhan. Ia adalah orang yang beradab.
Wajahnya sudah beribu kali dibasuh air sepanjang hidupnya, tetapi kali ini beda. Sekujur badannya merinding entah oleh hal apa. Seiring jatuhnya tetes pertama di lantai, air matanya menguar. Kepada siapa ia bisa berdusta lagi sekarang? Tidak ada. Ia benar-benar rindu.
Fikri memutuskan duduk di tengah-tengah, sungguh tidak tahu diri sebab mengambil posisi pusat tersebut. Beberapa orang ia lihat sedang salat, bermunajat dan merendahkan diri pada waktu mustajab. Bertahajud dengan gerakan tenang dan khusyuk. Di pojok kanan, ada yang sedang membaca Al-Quran, kemudian menangis. Ah, Tuhan tahu telah berapa lama Fikri tidak menyaksikan hal tersebut.
Kepalanya sakit tiba-tiba, bahunya menjadi berat seketika, dan tubuhnya tidak bisa bergerak. Ia tidak tahu sensasi aneh apa itu. Namun, dalam segala ketidaknyamanan itu, hatinya merasa tenang. Ah, setelah dua menit terpekur, ia mengerti.
Ia mengerti bahwa Tuhan menyuruhnya kembali, membuat ego di kepalanya reda, menuntun agar menjadi hamba yang rendah hati, tidak sombong. Tuhan mengisyaratkannya untuk siap menanggung lagi segala kewajibannya di bahunya sebagai seorang muslim. Lelaki itu membiarkan air matanya menetes deras. Tuhan, sudah sejauh itukah ia pergi?
Ia ingin pulang. Pulang ke rumah paling indah, kembali ke agama cinta.
🕊
"Asyhadu an la ilaha illa Allah. Wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah."Hening.
Tidak ada yang menginterupsi sunyi tepat setelah dua kalimat sakral itu keluar dari lisan seorang Fikri Atqanul Aqil. Seisi masjid seperti kompak memberikan ruang pada lelaki itu untuk menyadari bahwa jiwanya telah kembali pada fitrah. Untuk beberapa saat, hanya suara pendingin ruangan yang terdengar mengisi ruangan.
"Allahu akbar."
Selanjutnya, Abah bertakbir, memancing semua jemaah yang mendengar ikut melakukan hal yang sama. Tangan Fikri masih berjabat dengan seorang imam masjid ketika kepalanya tertunduk dan bahunya bergetar. Saat ini, semua orang menyambutnya pulang. Bahkan lelaki itu bisa merasakan ketulusan dari setiap orang yang duduk di sana dan menyaksikannya mengucap syahadat.
Abah yang lebih dulu bangkit dan memeluk Fikri setelah imam masjid memberinya beberapa nasihat. Abah menepuk-nepuk punggung pemuda itu, mengucap hamdalah berulang kali. Di bahu yang tegap itu, kini tertulis sebuah tanggung jawab besar.
Waktu zuhur dihabiskan Fikri mendengar nasihat dari beberapa jemaah di sana. Ia bahkan belum bertemu Elea hari ini. Ia hanya mengabarkan Abah dan mengutarakan keinginannya. Nanti saat pulang, ia akan menjelaskan hal itu pada sang kakak.
Abah menuntun Fikri memperbaharui wudu ketika azan Asar berkumandang. Setelahnya, ia kembali dan bergabung di dalam saf. Ah, barisan kuat nan rapat ini sungguhlah merupakan sebuah nikmat. Ketika tumit mereka saling menyentuh dan bahu saling singgung, Fikri tersenyum. Ketika rukuk dan sujud pun, lelaki itu tersenyum.
Terima kasih karena sudah menyambutku, Allah.
Papa, aku pulang. Pulang pada agama cinta seperti yang dikatakan Mama.
🕊
"Mbak—"Belum habis sapaan Fikri, Elea langsung memeluknya erat, menubruk tubuh sang adik hingga oleng. Sepertinya, Elea sudah tahu. Faza di belakang Elea juga tampak berkaca-kaca, sedangkan Abah, sejak pagi tadi senyumnya tidak luntur.
"Kenapa nggak ngabarin, sih? Mbak pengen dengarin kamu syahadat, tau!" Elea memukul pelan dada bidang Fikri.
"Aku bisa syahadat juga, kok, sekarang. Mbak mau dengar?"
Bibir Elea manyun. "Ish! Bukan itu maksudnya. Lagian Mbak nggak dikabarin, kenapa? Malah ngabarin Faza, coba?"
Fikri mengusap tengkuk. "Aku tuh mau hubungi Abah, Mbak, tapi di HP Tante Anis adanya nomor Faza. Jadi, ya ... ya udah."
Elea bedecak sebal meski ia tahu, tujuan Fikri menghubungi Abah adalah agar Abah dapat membantu Fikri menemukan orang yang tepat untuk membimbingnya bersyahadat.
Fikri mengalihkan pandangannya pada Faza yang diam-diam meluruhkan air mata tanpa suara. Ia tidak sengaja tersenyum pada gadis itu, membuat Faza seketika salah tingkah. Ia cepat-cepat menyeka pipi dan pindah posisi ke belakang Abah.
Ia entah bagaimana harus berterima kasih pada gadis itu. Gadis yang menjadi jembatan baginya dan Ahmad untuk saling terhubung kembali. Gadis yang memperkenalkannya pada kebijaksanaan Abah. Gadis yang secara tidak langsung menunjukkan arah pulang. Jadi, Fikri membalikkan badan agar netranya bisa menangkap bayangan Faza.
"Abah, makasih banyak."
Namun, ia hanya mengucapkan itu pada Abah alih-alih pada Faza.
Terima kasih karena sudah menjadi orang yang sudah berhasil mendidik anak perempuannya dengan sangat baik. Terima kasih karena telah mengajarkan sang anak agar memiliki empati yang tulus. Ah, harusnya Fikri juga berterima kasih pada ibunya Faza sebab tanpanya, Faza tidak akan terlahir di dunia, tetapi qadarullah, beliau sudah lebih dulu berpulang.
Terima kasih karena sudah memberinya ruang dan tempat untuk menenangkan diri. Terima kasih karena sudah menyediakan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan retorisnya. Terima kasih sebab tidak pernah memaksakan kehendak padanya. Terima kasih karena sudah menarik tangannya saat ia akan tenggelam lebih dalam.
Itulah kalimat yang ingin Fikri sampaikan, tetapi lisannya kelu. Melihat wajah teduh Abah yang bersahaja membuatnya tidak dapat berkata-kata. Wajah Ahmad tiba-tiba seperti muncul di sana, tersenyum tulus padanya. Astaga, air matanya meleleh lagi.
Abah hanya tersenyum dan mengangguk. Ia tidak perlu bertanya untuk hal apa pemuda itu berterima kasih. Ia hanya bahagia ketika mendapati seseorang yang berhasil keluar dari kebingungan dan keraguannya.
Abah pamit pulang pada Fikri dan Elea. Faza tidak mengatakan apa pun sejak tadi, tidak ada yang tahu pergolakan batinnya bagaimana, seperti apa perasaannya ketika melihat Fikri datang dengan wajah semringah setelah dua hari yang lalu lelaki itu melamun dengan pandangan kosong. Faza tidak mengerti apa yang dirasakan ketika hatinya menghangat kala melihat Abah menggandeng tangan pemuda itu dengan senyum yang tidak luntur.
"Faza," panggil Fikri sebelum gadis itu duduk di boncengan Abah.
"Ya?"
Fikri menarik napas dalam-dalam. Ia sudah memikirkan hal ini selama dua hari berturut-turut.
"Mau jadi makmum saya?"
🕊🕊🕊
Pendek aja, ya, bab ini, wkwkwk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
Ficção Geral(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...