Teori 46

8 3 9
                                    

Aku mencintaimu, itu sebabnya aku tidak pernah selesai mendoakan keselamatanmu.

(Sapardi Djoko Damono)

🕊

"Susunya nggak diminum?"

"Jangan jajan lagi, ya. Harus banyak makan makanan yang sehat."

"Jangan begadang, Faza. Maraton drakornya siang aja."

"Check up, yuk. Mas lagi libur. Dari kemarin kamu nolak terus."

"Nggak usah dipel lantainya. Nanti biar Mas aja."

"Mandinya jangan lama-lama, lho. Nanti kedinginan."

Dalam seminggu terakhir, Fikri menjadi lebih cerewet daripada hari-hari biasanya. Berbeda dengan masa awal kehamilan Faza, sang suami mengomel bukan karena terlampau protektif, melainkan sebab sang istri kerap kali melakukan sesuatu yang berlawanan dengan perkataannya.

Disuruh minum susu dan vitamin, Faza malah menyepelekan dan tampak pura-pura lupa. Makin dilarang, makin sering pula ia memesan makanan siap saji dari aplikasi ojek daring. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, Faza malah lebih sering melakukan tugas-tugas Fikri—mengepel lantai, membersihkan kamar mandi, dan pekerjaan rumah lainnya yang sebelumnya sudah disepakati oleh kedua pihak untuk tidak dilakukan oleh Faza.

Perempuan itu juga sering kali kedapatan murung dan melamun. Dipanggil, tidak menjawab. Ditegur, tidak dibalas. Tidak ada tanggapan yang berarti, seakan dunia ini tidak lagi penting untuknya. Satu dua kali, Faza bahkan membiarkan air keran tumpah dari bak mandi dan tidak lekas menutup kerannya. Juga ketika merebus, dibiarkan air mendidih itu lenyap di dalam panci.

Fikri bukannya tidak peduli. Ia bolak-balik ke sana kemari menanyakan kondisi Faza. Pada Abah, Elea, dan Afra. Barangkali ada satu situasi khusus yang membuat perilaku ibu hamil yang hampir bersalin berubah total. Namun, baik Abah, Elea, maupun Afra sama-sama tidak mengerti dan menyarankan Fikri agar langsung berbicara pada Faza. Lelaki itu menghela napas. Bahkan ketika hendak tidur pun, Faza nyaris selalu membelakanginya selama seminggu terakhir. Apalah salahnya.

Seperti malam ini.

Walau matanya sudah mengantuk berat, Fikri sengaja masih membuka buku, menunggu Faza menyudahi tayangan drama Korea dari ponselnya. Ia berusaha menahan diri untuk tidak menegur, takut Faza tersinggung. Sudah hampir tengah malam, hingga akhirnya tepat setelah jarum panjang menunjuk angka satu dan jarum pendek masih lurus di dua belas, Faza meletakkan ponsel di nakas.

Sudah sepi sekali tengah malam itu. Sesekali terdengar deru motor, mungkin pekerja lembur yang baru pulang, atau tukang bakso keliling yang masih memukul-mukul mangkuk dengan sendok. Selebihnya, hening. Hanya tersisa napas Faza yang terasa makin berat dan napas Fikri yang betulan berat.

"Mas rindu kamu." Lirih sekali ucapan Fikri barusan.

"Mas boleh tau, salahnya Mas apa?"

Fikri tahu, Faza belum tidur. Namun, perempuan itu tidak kunjung menjawab.

"Adik bikin kamu banyak pikiran, ya? Mas udah seminggu nggak ngobrol sama Adik. Dia baik, kan?"

Ah, Fikri juga rindu interaksinya dengan sosok "Adik" di dalam perut Faza.

Fikri menghela napas panjang.

"Kamu kangen Abah?"

"Kangen Umi."

Fikri terkesiap ketika Faza akhirnya menjawab. Ah, astaga, tetapi bukan jawaban itu yang diinginkannya. Lelaki itu diam sebentar, memberikan jeda, berharap Faza mau berbicara. Hingga nyaris tiga menit terkuras tanpa percakapan, kini malah Faza terisak, sendu sekali.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Teori Cinta dari SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang