Teori 20

25 9 6
                                    

Memahami orang lain adalah kebijaksanaan, memahami diri sendiri adalah pencerahan.

(Lao-Zu)

🕊

Ahmad pulang masih dengan jas putih yang dipakai ketika melakukan akad. Katanya, ia tahu Laura berada di mana, ia satu-satunya orang yang paham ke mana istri pertamanya akan lari jika emosinya memuncak. Namun, lelaki yang masih tampak awet muda di usianya yang ke-42 itu tidak berhasil membawa Laura pulang bersamanya.

Siang makin terik. Matahari seakan menjelma tokoh superior di atas langit Surabaya. Seakan tidak ada habisnya, ultraviolet disebarkan tanpa ampun. Bulir peluh sebesar biji jagung mengalir dari pelipis dan dahi. Ikatan dasinya sudah mengendur, jasnya meski tampak rapi, tetap tidak bisa menutupi keadaan Ahmad yang tampak berantakan.

"Mama mana, Pa?"

Pertanyaan Elea makin membuat suasana gerah karena hanya gelengan yang menjadi jawaban dari ayah mereka. Fikri berusaha menggenggam erat tangan kakaknya agar tidak menangis tepat di hadapan Ahmad. Remaja itu meski tidak pintar berkomunikasi, tetapi merupakan pemerhati yang cukup baik.

"Duduk, Mas, minum dulu. Capek banget kelihatannya."

Ucapan lembut dari Anisa seakan menambah gelora panas yang membuncah. Ahmad, setelah gagal meminta Laura pulang dan tidak bisa memberikan jawaban sesuai keinginan anaknya, kini tersadarkan oleh satu hal. Ia punya istri yang lain dan itulah sebab dari berantakannya ia hari ini.

Ahmad memilih mengabaikan perempuan itu. Bibirnya mengatup rapat, melirik ke arah Fikri.

"Malam ini Fikri tidur sama Papa. Kamu tidur sama Elea, ya. Maaf, saya masih belum bisa—"

"Iya. Nggak apa-apa, kok. Anis paham."

Setelah mendengar jawaban Anisa, Ahmad melenggang menuju kamarnya sewaktu bujang. Saat ini, di ruang keluarga hanya tersisa mereka bertiga; Anisa, Elea, dan Fikri yang sama-sama bungkam. Tidak ada yang buka suara hingga Oma memanggil mereka dari kamar.

"Mana Ahmad?" tanyanya sarkas.

"Lagi bebersih, Bu." Anisa yang menjawab. Wanita itu langsung membantu Oma untuk duduk dan menyiapkan sandaran berupa bantal yang ditumpuk.

"Oma dengar mama kalian bikin kacau acara hari ini."

Rahang Fikri mengatup, tangannya mengepal. Elea juga demikian, meremas rok bagian lutut dan menggigit bibir bawah.

"Enggak kok, Bu. Acaranya bubar karena emang udah selesai, bukan karena Mbak Laura."

"Kamu nggak usah bela-bela perempuan jalang itu, Nis!"

Fikri dan Elea tersentak. Ini sudah kali ke berapa Oma merendahkan ibu mereka serendah-rendahnya, tetapi setiap wanita tua itu mengulang perkataan tersebut, mereka tetap kaget. Bahkan Mama tidak pernah berucap sekasar itu, bagaimana Oma bisa?

Jika tidak diperingatkan oleh Ahmad untuk bersabar, sudah dari kemarin-kemarin Fikri memberontak, membalas perkataan Oma. Jika tidak dinasihati Ahmad, sudah sejak awal Elea melarikan diri dari situasi yang terus memojokkan ibunya tercinta. Dua anak insan itu masih mengerti bagaimana caranya bersikap dan menghargai orang lain. 

"Fikri sekarang kelas berapa?"

"Dua SMA."

"Berarti udah masuk tingkatan ulya di pondokmu, ya?" Oma bertanya ramah, seakan lupa apa yang telah diucapkan beberapa detik lalu telah menggores hati cucunya.

Fikri mengangguk tanpa mengangkat pandangannya yang sejak tadi masih tertunduk.

"Nah, kamu pasti tau. Apa hukumnya menikahi wanita musyrik?"

Teori Cinta dari SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang