Teori 36

16 6 9
                                    

"Bila cintamu sungguh-sungguh, tentu kau akan patuh. Sebab seorang kekasih, pastilah patuh pada kekasihnya."

(Imam Syafi'i)

🕊

Enggan masuk, tetapi tangannya dipegang kuat-kuat oleh sang kakak. Fikri, mau tidak mau ikut menyeret langkah ke dalam ruang Ahmad setelah Anisa dan Abah keluar. Mereka harus masuk bergantian setelah dokter memeriksa sejenak.

Di sana, Ahmad terbaring lemah. Selang-selang masih menempel di tubuh bagian depan. Alat bantu napas pun masih bertengger di hidung, kondisinya tampak menyedihkan. Mata sayu itu berkedip pelan, menyambut kedua anaknya masuk, mendekat. Dua anak yang pertama kali dicintai olehnya, tanpa syarat.

Ahmad mengisyaratkan keduanya untuk mendekat. Fikri menurut canggung, hingga jaraknya dengan sang ayah terkikis banyak. Elea mundur, memberi kesempatan pada adiknya untuk berdiri di posisi paling dekat dengan Ahmad.

Fikri mematung ketika netranya seakan menolak untuk menghindari tatapan sang ayah. Seingatnya, dulu atensi itu berbinar terang, seperti ada bintang di dalamnya. Seingatnya, wajah teduh itu tidak pernah lepas dari senyum indahnya. Kini, bahkan kelopak mata Ahmad seperti terlalu berat untuk terbuka. Bibir yang dulu menyunggingkan sudut simetris, kini sudah miring sebelah.

Entahlah, Fikri tiba-tiba merasa hatinya nyeri. Matanya panas, seperti hendak mengalirkan isinya. Ada sedikit dorongan dalam hati untuk meniadakan jarak, merengkuh tubuh tanpa daya itu dan menangis di sana, tetapi ia gengsi. Lagi pula, ia tidak akan mengganggu fungsi selang-selang yang menempel di tubuh Ahmad. Begitu alasannya untuk tetap bergeming.

"Ma—aa."

Tidak seperti dulu, mulut yang senantiasa memberi afirmasi, kini tidak dapat mengucap kata yang bisa dimengerti.

"Ma—aa."

Papa minta maaf.

Fikri mengerti. Sangat mengerti walau tanpa dilafalkan dengan jelas. Lelaki itu mati-matian menahan gejolak di dadanya, tetapi lelehan air dari sudut mata Ahmad, mengetuk hatinya untuk pasrah. Pasrah pada air mata yang juga rindu dikeluarkan. Dua lelaki itu menangis.

"Lea ... ma—aa."

Isak Elea menjadi lebih beringas kala menyadari namanya ikut disebut. Wanita itu menggeleng keras-keras. Ahmad tidak perlu meminta maaf. Seharusnya ia berkata seperti itu, tetapi lidahnya kelu sebab otaknya sibuk memikirkan cara meredam tangis agar tidak menimbulkan kegaduhan.

"U—mah, Nak. Lea ...."

Kali ini, Fikri tidak mengerti. Berkebalikan dengan sang adik, Elea mengangguk cepat. Secepat berubahnya keadaan menjadi hening karena beberapa detik kemudian, Ahmad kehilangan kesadaran lagi.


🕊

"Hai. Ini Mama. Apa kabar anak-anak kesayangan Mama? Si cantik Elea, si tampan Fikri. Baik, ya? Harus baik, sih. Soalnya Mama selalu berdoa biar Tuhan menjaga kalian. Pasti Tuhan ngabulin, soalnya Tuhan Maha Mendengar."

Fikri terpaku kala atensinya menangkap wajah sang ibu dalam bingkai infokus beberapa meter di depannya. Elea dengan cermat menyambungkan memori kamera ke penyimpanan laptop lalu menampilkannya dalam layar lebar. Ya, saat ini mereka sedang berada di rumah Ahmad. Hanya mereka berdua.

"Mama nggak tau kapan kalian bakal lihat video ini. Dua tahun lagi? Lima tahun? Tapi, semoga sebelum kebencian kalian makin dalam, video ini berkesempatan untuk ditonton oleh kalian, ya. Mama nyiapin ini untuk Elea dan Fikri. Anak-anak kuat yang Tuhan kirim untuk jadi hadiah di hidup Mama. Kalian tau, Mama selalu sayang kalian. Mama always love you, Elea, Fikri."

Teori Cinta dari SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang