"Tumbuh memang menyakitkan, perubahan itu berat. Tetapi, tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding saat kamu terjebak di tempat yang bukan milikmu."
(Zipho Tefu)
🕊
K
akinya sudah keram dan kesemutan, tetapi lelaki berusia 27 tahun itu tidak kunjung beranjak dari tempatnya bersimpuh. Ia sesekali mendongak, menantang teriknya mentari demi mengeringkan sisa air mata yang terus jatuh di pipi. Sesekali pandangannya jatuh pada jirat yang tertulis nama Ahmad di sana, lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal kematian.
Tidak ada yang beranjak. Anis bersama Ghibran dan Yusuf sama-sama diam, tidak bersuara sedikit pun, membiarkan Fikri berdiskusi dengan keheningan. Elea sudah pulang sejak tadi sebab Ezra mulai rewel, tetapi Harsa dan Chesa tetap tinggal, menemani Fikri.
Jarum jam sudah tepat di angka dua belas. Matahari pun akurat posisinya di atas kepala. Peluh dan air mata kini bercampur padu tanpa bisa dibedakan. Fikri tidak peduli. Tangannya sesekali meraih kembang di atas tanah basah itu, mulutnya masih berucap maaf dengan lirih.
"Tante?"
Anis menoleh, menatap Fikri yang memanggilnya pelan.
"Tante nggak usah tungguin aku. Pulang aja. Kasihan Ghibran sama Yusuf kepanasan," ujarnya.
"Ghibran sama Yusuf kalau mau pulang nggak apa-apa, kok, Nak. Nanti Mama susul, ya?" Alih-alih merespons ucapan anak sambungnya itu, Anis malah melirik kedua putranya yang juga tengah bersimpuh.
"Mas temenin Mama aja. Nggak apa-apa kalau lama. Kamu pulang aja, Dek," balas Ghibran.
"Nggak, ah. Aku pulang sama siapa? Aku kan nggak bisa bawa mobil. Motor juga nggak bisa. Aku ikut temenin Mama aja."
"Mas anterin, yuk?" Harsa angkat bicara, tetapi Yusuf masih menggeleng.
"Jangan, Mas, malah ngrepoti. Soalnya rumah kita juga berlawanan arah. Aku nggak apa, kok. Mas duluan aja, kasihan Chesa kepanasan," tolak remaja tanggung itu.
Harsa menurut dan membawa Chesa dalam gendongannya.
Fikri menghela napas. "Jangan tungguin aku. Kalian harus salat Zuhur, kan?"
Tiga orang lainnya saling pandang.
"Aku nggak apa-apa. Aku juga butuh waktu sendiri. Boleh, ya?"
Anis, Ghibran, dan Yusuf bangkit. Mereka cukup mengerti untuk memberi Fikri waktu sendiri. Sebelum Anis benar-benar membalikkan badan, Fikri kembali memanggil.
"Di rumah Tante ada kamar kosong?"
Anis mengangguk sambil tersenyum. "Selalu ada tempat untuk kamu di rumah, Nak."
🕊
Lelaki itu tiba di tempat yang dikatakan rumah pada waktu magrib. Oleh Ghibran, ia ditunjukkan kamar tempatnya bisa menginap.
Sepi.
Fikri sadar betul bahwa hatinya kini hampa. Ia tidak tahu harus apa. Ia bingung harus menghadapi apa lagi. Kebenciannya sudah hangus, pergi terkubur bersama jasad Ahmad dan tidak akan kembali. Harusnya penyesalan itu pun ikut tertanam, tetapi tidak. Ia masih meratapi kebodohannya.
Ia merebahkan diri, menumpu lengan di atas dahi, menekan semua lelah, lahir dan batin. Tidak ada yang berbeda dari kamar itu. Tata letak dan barang-barangnya masih di sana, dirawat dengan baik entah oleh Ahmad atau Anis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
General Fiction(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...