"Tidakkah yang paling berat itu adalah ini; merendahkan diri untuk membunuh keangkuhan dan mempertontonkan ketololan untuk mencemooh kebijaksanaan kita sendiri?"
(Friederich Nietzche)
🕊
"Nak, ke rumah sakit sekarang."
Fikri yang tengah sibuk menekan huruf demi huruf di laptop menatap Abah bingung. Pasalnya, setelah berkata demikian, Abah malah masuk kamar dan keluar dengan membawa kunci mobil. Eskpresinya terlihat panik.
"Kenapa, Bah? Siapa yang sakit?"
"Ahmad. Tekanan darahnya tinggi banget. Cepat, Nak, pergi bareng Abah aja. Keluargamu semua udah di sana. Abah dapat informasi dari Faza."
Lelaki itu sebenarnya ingin bersikap takacuh, tetapi urung sebab menilai eskpresi Abah terlalu kentara. Abah tampak selalu tenang, tetapi tidak kali ini. Fikri lekas mengecek ponsel, memastikan kalau-kalau ia lupa membaca dan membalas pesan atau luput menjawab panggilan. Namun, ternyata tidak demikian. Ponselnya bersih dari notifikasi apa pun.
"Ayok, cepat, Nak. Takutnya malah nggak keburu," cetus Abah lagi kala mendapati Fikri meletakkan kembali ponsel ke atas meja dan hendak fokus lagi ke layar laptop.
"Nggak usah, Bah, saya di sini aja."
"Abah kali ini ndak mau kamu nolak, lho. Nanti malah kamu nyesel," bantah Abah. Fikri menghela napas samar.
"Saya ada di sana pun, nggak akan memberi pengaruh positif, Bah, malah negatif. Kalau nggak ribut, ya canggung. Biarin aja Papa masuk rumah sakit, udah sering juga soalnya. Saya biar diwakili Mbak Elea dan Mas Harsa."
Gantian, kali ini Abah yang mendengkus lantas dari posisinya yang berdiri beberapa meter dari Fikri, kini memangkas jarak. Rahang Abah mengeras, Fikri bisa merasakan aura intimidasi dari Abah saat ini. Alhasil, ketika tepat kaki Abah bersisian dengan kakinya, lelaki itu menunduk, tidak berani mendongak.
"Ayok. Kamu pergi sama Abah ke sana."
"Kehadiran saya nggak penting, Bah." Fikri cepat menjawab, masih dengan wajah yang berpaling dari tatapan Abah. "Nggak ada yang nelepon saya hari ini untuk bilang kalau Papa masuk rumah sakit. Jadi, untuk apa saya ke---"
"Mas Fikri! Aduh, astaghfirullah!"
Faza tiba tanpa aba-aba dengan jilbab yang sedikit berantakan, mengalihkan pandangan Abah dan Fikri.
"Nomornya kenapa, sih? Aku diblok? Mbak Elea diblok? Mas Harsa juga? Semua nomor yang nelepon Mas Fikri nggak ada yang nyambung!"
Lelaki itu mengernyit.
"Udah ada seratus kali kayaknya deh, kalau ditotal jumlah panggilan dari aku, Mbak El, Mas Harsa, dan Tante Anis. Mas Fikri ini ganti kartu atau gimana, sih? Sombong banget, ya, jadi manusia sampai harus mutusin silaturrahmi!" Faza berbicara begitu cepat, nyaris tanpa jeda.
Kedutan di dahi Fikri makin dalam. Cepat-cepat ia membuka pesan masuk yang belum sempat dibaca. Digulirnya layar ponsel hingga lelaki itu mendecak kesal ketika menemukan pesan operator yang menyatakan bahwa masa aktif kartunya sudah habis. Ia lupa mengisi pulsa nyaris selama tiga bulan.
Pantas saja ponselnya tidak menunjukkan tanda-tanda notifikasi selama dua hari ini.
"Aku nggak tau kenapa kami semua nggak bisa hubungi Mas Fikri. Mungkin diblok, atau apalah, tapi aku ke sini buru-buru karena mau bilang, Om Ahmad kritis. Dari tiga hari yang lalu koma, sampe sekarang belum bangun. Please, ayok pergi. Kunjungi Om Ahmad. Please. Aku ... aku takut waktunya nggak lama lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
General Fiction(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...