"Memaafkan adalah hal yang lucu. Ia menghangatkan hati dan mendinginkan kepedihan.
(William Arthur Ward)
🕊
"Mau ditemenin?"
Fikri menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Anis berdiri di ambang pintu. Menyadari kehadiran ibu sambungnya itu, Fikri meredam puntung rokok di asbak.
"Nggak, Tan. Makasih," jawab lelaki itu sekenanya.
"Kata Yusuf, kamu pengen ngobrol sama Tante. Bener?"
Fikri mendecih samar. Bocah itu bisa-bisanya memutar balik fakta.
Sebelumnya, Fikri memang meminta tolong pada Yusuf untuk mencari tahu tentang Ahmad. Segala hal yang ditinggalkan ayahnya, baik pesan, wasiat, atau apa pun itu yang kemungkinan besar diketahui oleh Anis. Namun, tampaknya adik sambungnya itu tidak ingin ikut campur terlalu dalam. Lebih baik mempertemukan ibunya dengan Fikri. Yusuf malas menjadi perantara.
"Tante duduk, ya? Kalau mau ngelanjutin ngorokok, nggak apa-apa, kok."
"Iya, duduk aja. Nggak lagi, Tante, mulut aku udah pahit." Padahal Fikri hanya tidak ingin mengganggu orang lain sebab asap rokoknya itu.
"Nggak makan lagi?" Fikri hanya menggeleng. "Nanti masuk angin, lho. Udah dua hari ini kamu nggak makan."
"Aku makan di luar, kok." Fikri berdusta lagi.
"Oh, alhamdulillah kalau gitu. Setidaknya perutmu ada isinya. Kamunya jangan sampai sakit."
Malam ini, cuaca agak mendung. Angin sejuk menerpa dua manusia beda generasi yang sama-sama duduk diam di teras rumah. Gemeresik daun dari pohon jambu sesekali memainkan peran, menciptakan suara agar tidak terlalu hening. Pun ranting saling bergesekan, mengadu bahwa angin malam ini mungkin cukup untuk membuat siapa pun kedinginan.
"Fikri—"
"Tante—"
Fikri dan Anis saling berpandangan kala ucapan mereka terbit di kala yang sama.
"Kamu dulu."
"Tante dulu."
Itu pun diucap bersamaan. Keduanya berdeham.
"Siapa dulu?" Anis tertawa pelan ketika kali ini pun, mereka bertanya dalam waktu dan kata yang sama. Namun, Fikri hanya menatap kosong ke arah pagar rumah, membuat situasi kian canggung.
"Tante dulu," seru Fikri setelah diam beberapa saat. Anis mengangguk.
"Tante minta maaf." Kalimat itu diucapkan setelah Anis menarik napas panjang beberapa kali.
"Tante minta maaf karena udah merusak semua kebahagiaan kamu dan Elea. Tante minta maaf karena udah ngambil Ahmad dari kalian. Tante minta maaf karena selama ini, nggak bisa melakukan apa pun untuk mendekatkan kembali kamu dengan Ahmad."
Lelaki yang duduk di sebelah kiri Anis itu menghela napas panjang. Dadanya terasa sesak tiba-tiba ketika mengingat betapa sulitnya ia menerima kenyataan bahwa ia pernah begitu hancur gara-gara ulah manusia-manusia yang melewati batas. Napasnya berubah takteratur ketika mengingat air mata Laura yang pasrah menjalani tiap menghadapi ujian. Sakit rasanya ketika menatap sang ibu ketika harus menaiki tanjakan curam seorang diri.
Ia ingin berhenti mendengarkan Anis, masuk kamar, mengurung diri, atau pergi sekalian. Menurutnya, Anis adalah salah satu dari beberapa sebab kacaunya kehidupan mereka. Namun, Fikri memilih untuk tetap tinggal. Meski sesak, ia akan berusaha untuk terus mendengarkan. Setelah kepergian Ahmad, ia sadar bahwa dewasa ini, ia harus mendengar lebih banyak. Ia tidak boleh melarikan diri lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
General Fiction(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...