Teori 23

35 7 4
                                    

Tidak ada seorang pun yang pernah mencintai sebagaimana ia ingin dicintai.

(Mignon McLaughlin)

🕊

Fikri tidak tahu mengapa sekarang dirinya harus berada di ruang tamu rumah Faza dan tengah mendengarkan Abah berceloteh. Bahkan gelas berisi kopi yang disuguhkan tuan rumah untuknya juga sudah habis separuh. Lelaki itu juga tidak tahu mengapa ia mau menunggu Faza selama lebih dari 15 menit.

Ah, bahkan ia juga tidak tahu mengapa menyetujui permintaan Faza untuk menjemputnya.

Lima menit kemudian, Faza keluar dengan gaun berwarna salem dan polesan sederhana di wajah. Ia menghampiri Abah, membuat percakapan dua orang lelaki beda generasi itu teralih. Atensi Fikri sempat bertemu dengan netra cokelat muda milik Faza, tetapi cepat-cepat diputus.

"Nah, itu udah selesai. Cantiknya anak Abah .... Nanti sampai di sana, kamu harus kelihatan kuat, ya. Dia memang bukan jodohmu. Ini udah yang terbaik dari Gusti Allah," ucap Abah yang langsung ditanggapi anggukan oleh Faza. Setelahnya, gadis itu keluar lebih dulu menuju teras untuk memakai sepatu.

"Abah titip Faza, ya. Tolong dilihat-lihat. Seandainya dia udah hampir nangis, langsung bawa pulang aja. Abah nggak mau dia menangisi apa yang seharusnya nggak ditangisi."

Abah menjulurkan tangannya untuk kemudian disalami oleh Fikri. Laki-laki itu mengangguk, membalas uluran Abah. Sesaat setelah punggung tangan itu menyapa hidungnya, hati Fikri mencelos. Sudah berapa lama lelaki itu menafikan keberadaan sang ayah, yang seharusnya disalami seperti ini?

"Nanti pas pulang, singgah lagi sebentar di sini. Itu si Dani kemarin pulang dari Garut, bawa oleh-oleh banyak."

"Iya, Bah."

"Sekalian, kalau sempat, salat Asar sama Abah di masjid."

Fikri mematung.

🕊

Suasana di dalam mobil lengang. Faza yang duduk di jok kedua, sibuk memperhatikan jalan dengan tatapan kosong. Sementara itu, Fikri bolak-balik mengarahkan netranya ke jalanan dan undangan pernikahan untuk memastikan alamat yang benar.

Udara kian menyengat. Rasanya waktu berjalan begitu lambat hingga akhirnya setelah menempuh perjalanan hampir 30 menit, mereka tiba di tempat yang dituju. Gapura dihiasi janur kuning membuat Faza melengos. Gadis itu seketika merasa ragu untuk turun. Fikri sengaja menunggu dan tidak mengganggu lamunan gadis itu, tetapi setelah berlangsung hingga 10 menit tanpa tindakan apa-apa, Fikri jengah juga.

Dilirik Faza dari kaca spion depan, gadis itu tidak bergerak seinci pun. Sepertinya Faza juga lupa bahwa ada Fikri bersamanya. Ia tampak tenggelam begitu dalam di dunianya sendiri. Sendu dan kosong, seperti enggan bernapas.

"Udah mau nangis belum?"

Akhirnya pertanyaan dari Fikri membuat Faza kembali ke realita. Gadis itu mengerjap, balas menatap Fikri dari spion depan.

"Hah?"

"Kata Abah, kalau kamu udah mau nangis, langsung dibawa pulang aja," jelas Fikri. Faza menggeleng kemudian menyandarkan kepalanya pada jendela.

"Tapi kata Abah, aku harus kelihatan kuat. Kalau langsung pulang, jatuhnya aku malah kayak pengecut yang lari dari kenyataan," balas Faza. Tatapannya masih sama, mengarah pada tamu yang berlalu lalang.

Teori Cinta dari SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang