Cinta adalah penyakit. Ia membuat orang lemah di hadapan insan yang dicintainya. Ia menyebabkan candu kehidupan, seakan-akan hidup tak punya arti tanpanya, dan seseorang harus memiliki ketergantungan dengannya.
(Friedrich Nietzche)
🕊
Hari itu, Oma sakit. Permintaannya kepada Ahmad sederhana, menceraikan Laura dan menikahi janda pilihannya sebelum wanita tua itu meninggal. Kata Oma, ia ingin memiliki cucu yang diakui. Bukan Elea, bukan juga Fikri. Ia ingin, putranya pulang menuju cintanya, bukan rengkuhan Laura.
Mendengar kabar itu, Laura patah. Fikri terpaksa pulang dari pesantren sebab ibunya yang penuh cinta itu terbaring lemah di rumah sakit. Kata dokter setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, Laura tidak menderita penyakit parah. Asam lambungnya tinggi, penyebabnya stres berkepanjangan.
Ahmad berjanji tidak akan meninggalkan Laura saat mereka menikah. Namun, jika harus memilih antara istri dan ibu, ia harus apa? Bukankah ia harus mendahulukan ibunya? Bakti seorang perempuan akan berpindah ke suami jika ia sudah menikah, tetapi lelaki, jika sudah menikah pun, ibu tetaplah surganya, baktinya tidak berpindah.
Lagi pula, ia memiliki firasat bahwa waktu Oma tak lagi lama. Ia begitu merindukan sang ibu. Lantas, jika satu permintaan itu bisa menebus dosanya selama ini, mengapa tidak dituruti? Toh, Ahmad berjanji bahwa Laura tetap menjadi prioritas. Ia hanya akan menafkahi janda pilihan ibunya dari segi materi. Namun, meski begitu, wanita mana yang bisa menerima kenyataan bahwa lelakinya tetap mendua?
Laura pergi dari Ahmad, pulang ke Manado. Katanya, ia akan baik-baik saja jika ditinggal. Ia juga merindukan keluarga yang sudah lama tak dijumpai. Padahal, alasannya sederhana. Ia tidak ingin mendengar seruan talak dari suaminya. Ah, entahlah. Dimadu tidak ingin, dicerai juga tidak mau. Laura benar-benar kebingungan saat itu.
Eleanor dan Fikri ikut Ahmad. Untuk pertama kalinya, saat pulang, Oma mau memeluk mereka. Wanita tua yang sudah tak bisa bangkit dari kasur itu bahkan menangis sesenggukan saat memeluk dua anak itu, menciumi mereka berulang kali sampai engap.
"Memang seharusnya perempuan kafir itu nggak pernah ada di antara kalian. Memang seharusnya wanita murahan itu meninggalkan Ahmad sendirian. Wanita tak tahu malu itu memutuskan hubunganku dengan cucu-cucuku."
Begitulah perkataan Oma yang Elea dan Fikri ingat selepas memeluk mereka. Tiga orang di sana tertegun.
"Oma ... siapa yang Oma bilang wanita kafir? Siapa yang Oma sebut wanita murahan?" ucap Elea lirih, air matanya sudah berderai turun.
Fikri juga menahan segala emosi. Tangannya mengepal hebat, hatinya panas, darahnya mengalir hangat, dan rahangnya mengetat. Bagaimana bisa manusia mengafirkan orang lain, sedangkan dalam pemahaman lelaki remaja itu, hak mengafirkan orang lain adalah hak perogratif Tuhan. Bagaimana bisa sesama manusia merasa pantas men-takfir sesamanya?
Terlebih dari itu, bagaimana bisa Oma terang-terangan mengatai Laura di depan Elea? Mereka menganut ajaran yang sama, terikat darah yang setara. Bahkan Fikri saat itu menyadari, dari buku-buku tangan Elea yang memutih sempurna, gadis itu marah luar biasa.
"Bu, tolong jaga ucapan Ibu di depan anak-anak," pinta Ahmad. Lelaki itu masih cukup menaruh hormat pada wanita yang melahirkannya. Ia menjaga suaranya tetap rendah, walau emosinya membuncah.
"Apa yang salah dari perkataan Ibu? Dia itu lacur, menggadaikan agamanya untuk tetap bisa nikah sama kamu. Bahkan dari segi agamanya pun, tindakan itu nggak bisa dibenarkan, Ahmad. Kamu mencintai orang yang salah."
Masih diam di tempat dan sama-sama menunduk, Fikri menggeram halus. Mau sampai kapan wanita tua itu menghina ibunya, wanita yang melahirkannya? Mau sekejam apa lagi ucapannya? Fikri beristighfar dalam hati, berusaha tidak terpancing lebih jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
General Fiction(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...