Cinta hanyalah istilah belaka.
(Al-Ghazali)
🕊
Fikri memarkirkan mobil di pelataran masjid tepat ketika azan zuhur selesai dikumandangkan. Faza memandang sekeliling, ramai. Masjid jamik ini memang menjadi tempat persinggahan orang-orang yang bekerja dan dalam perjalanan karena terletak di tengah-tengah kota. Lokasinya strategis.
"Salat."
"Susah," jawab Faza.
"Cepat."
"Dibilangin susah, juga," gerutu Faza.
Tas kecil yang diselempangkan di bahu kirinya tak terdapat pembersih make up.
Gadis itu tidak kepikiran untuk membawanya. Yang teringat hanya tisu, dompet, dan ponsel hingga hanya tiga benda itu yang dibawa. Memang, polesan di wajah Faza termasuk tipis. Namun, ia tak akan nyaman jika harus salat tanpa memastikan make up-nya bersih sempurna.Fikri melirik Faza dari kaca spion depan. Gadis itu asyik merutuk berulang kali. Sebenarnya ia tahu untuk gadis yang memakai make up, salat di tempat umum adalah satu dari sekian hal yang bikin ribet. Namun, menurutnya polesan di wajah Faza akan mudah hilang walaupun tidak memakai pembersih seperti micellar water sekalipun.
Terlebih, ia ingin memberi jeda untuk diri sendiri. Afra dan air matanya masih terbayang di kepala Fikri. Wajah Zidan yang berdiri berdampingan dengan Afra pun ikut-ikut terseret ke dalam pikirannya. Lelaki itu, dilihat dari segi mana pun memang lebih unggul dari Fikri. Ia menyadari hal tersebut.
"Langsung pulang aja, deh. Baru selesai azan, juga. Masih sempat salat di rumah," ujar Faza. Fikri menggeleng.
"Lagi di sini, jangan ditunda."
Faza mencebik.
"Mas Fikri aja, langsung salat sana. Aku bisa tungguin, kok. Ntar aku salatnya di rumah aja."
Fikri terdiam sebentar. "Saya nggak salat."
Faza tertegun. Alunan ikamat sudah digemakan, tetapi gadis itu sibuk memikirkan arti dari ucapan Fikri yang menimbulkan banyak kemungkinan. Nada datarnya, ekspresi wajah yang kusut, serta pandangan yang dialihkan ke luar jendela membuat Faza urung bertanya hal lain.
"Ya udah, tapi jangan salahin kalau lama, ya." Faza membuka pintu, keluar buru-buru.
Ya, gadis itu juga tahu kalau Fikri butuh waktu. Banyak hal yang membuat Faza bingung, ingin ditanyakan. Namun, ia masih bisa menahannya. Orang yang baru saling mengenal, bukankah tidak sopan menanyakan banyak hal?
"Ya."
🕊
Laura dan Ahmad sepakat agar memberi nama anak mereka sesuai gender. Jika perempuan, maka yang memberi nama adalah ibunya, begitu pun sebaliknya. Selebihnya, mengenai kepercayaan yang dianut oleh anak-anak mereka kelak ketika sudah mengerti, mutlak menjadi pilihan mereka.
Siapa sangka putra putri mereka memilih untuk ikut keyakinan berdasarkan pilihan nama? Eleanor Liora, memegang kepercayaan yang sama dengan Laura. Fikri Atqanul Aqil, menggenggam erat dogma yang diwarisi ayahnya. Tak ada niat dalam sukma untuk mengubah identitas indah pemberian kedua orang tua mereka. Tumbuh dalam nama, tumbuh sebagai doa.
Menjadi taat dalam memegang bara api di tangan sendiri, walau hidup dalam lingkup perbedaan yang menonjol. Tak pernah ada kasta, toleransi menjadi makanan sehari-hari. Bahkan keluarga kecil mereka biasa mendiskusikan berbagai hal berdasarkan sudut pandang agama masing-masing. Saling menghormati, tidak ada yang merasa lebih benar lantas menghakimi sisanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
General Fiction(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...