Setiap orang bisa menjadi marah, itu adalah hal yang mudah, tetapi menjadi marah kepada orang yang tepat, dengan kadar yang tepat, di saat yang tepat, dengan tujuan yang tepat serta dengan cara yang tepat, bukanlah kemampuan setiap orang dan bukanlah hal yang mudah.
(Aristoteles)
🕊
Faza melongo ketika menyadari motor Fikri sudah tidak lagi berada di tempat. Seingatnya, tadi gadis itu telah menandai dengan jelas pijakan sepeda motor Fikri. Dilihat dari sudut mana pun, tempat itu kini kosong.
Marah, tuh. Buktinya, aku ditinggal, batin Faza.
Ketika ingin menghujat lebih lanjut, ponselnya berdering. Faza harus menelan ludah berulang kali sebelum memutuskan hendak menggeser kursor ke ikon berwarna merah atau hijau.
🕊
Sepanjang perjalanan, Fikri merutuk dalam hati. Udara Kota Surabaya yang menyengat serta campuran polusi udara tidak membuatnya lebih jengah daripada sikap Faza padanya. Bagaimana tidak? Gadis itu kembali mengambil alih kemudi lantas berperilaku seolah ialah yang berhak menjalankan prinsip-prinsip Fikri.
Lelaki itu benci diperlakukan demikian.
Ah, tepat saat seseorang membunyikan klakson untuk menyalip posisinya, Fikri teringat sesuatu. Bukankah sejak bertemu gadis itu, ia sudah mencengkeram kendali? Lelaki itu juga ingat betul bahwa yang menggerakkannya untuk mengunjungi Ahmad adalah Faza, tepat beberapa jam yang lalu.
Ia menepi, berhenti sesaat di pinggir jalan tanpa melakukan apa pun. Atensinya diarahkan bolak-balik mengikuti lalu lalang kendaraan di jalanan yang selalu tampak sibuk. Ia bersedekap, sesekali melengos ketika dirasa asap terlalu ramai mengisi rongga hidung.
Setelah sekian lama, ia kembali bertemu Ahmad. Lelaki itu sudah tampak lebih lelah di usianya. Tubuh yang lebih kurus tak lepas dari perhatian Fikri sejak pertama kali menginjakkan kaki di ruang rawat sang ayah. Meski ramah pada semua orang, matanya tampak lebih sayu dan redup. Apakah masih ada penyesalan dalam hidupnya terkait istri pertamanya?
Sepertinya begitu. Dari apa yang dilihat, Fikri bisa menyimpulkan demikian. Sesaat lelaki itu termenung, baru menyadari bahwa ia cukup banyak memperhatikan ayahnya saat mereka bertemu.
Getar dari saku kirinya membuat Fikri menyudahi kegiatan merenung di pinggir jalan. Diliriknya deretan angka yang tertera di sana, lantas mengernyit. Tanpa pikir panjang, panggilan ditolak. Ia tidak senang jika dihubungi oleh nomor tak dikenal. Astaga, memangnya siapa yang berani menyebar nomornya?
Sekali lagi, getaran dengan frekuensi yang sama mengusiknya. Deret angka serupa kembali muncul menghiasi layar. Fikri mendengkus ketika jempolnya malah tidak sengaja menggeser ikon berbentuk telepon ke atas, panggilan dijawab.
"Mas Fikri, aku mau minta tolong!"
"Maaf, ini dengan siapa, ya?"
Fikri yakin ia tidak salah dengar. Meski jalanan gaduh, speaker ponselnya sudah dimaksimalkan. Mana ada orang tak dikenal yang langsung meminta pertolongan saat menelepon.
"Dih, nomor aku nggak disimpan?"
Oh, Mafaza.
"Aku mau—"
Sambungan diputuskan oleh Fikri secara sepihak. Ya, lelaki itu merasa ia harus membuat batasan yang tegas dengan Faza. Atau, kendalinya diambil alih lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
General Fiction(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...