Sebab setiap burung terbang ke sarangnya sendiri, burung sebenarnya mengikuti di belakang, sedangkan yang terbang dan menuntunnya di depan adalah ruh-Nya.
(Jalaluddin Rumi)
🕊
Sudah tiga hari, Fikri menolak panggilan Anis. Ia bahkan secara terang-terangan memblokir nomor ibu sambungnya itu. Panggilan Ahmad sempat diangkat sekali, ia disuruh kembali dan tidur di rumah Harsa, selagi keluarga berkumpul untuk merawat Elea dan Ezra.
Fikri mendecih samar dan dengan hormat menutup panggilan sembari menolak tawaran tersebut. Keluarga apa? Toh, Fikri sudah sering merasa asing di sana, tetapi mana ada yang peduli.
Faza juga berpuluh kali menelepon hingga ketika panggilan tak terjawab mencapai angka tujuh puluh, Fikri memblokir nomor gadis itu. Bayangkan saja, ia jadi tidak fokus mengajar sebab ponselnya terus bergetar tanpa jeda. Beberapa mahasiswa yang iseng sesekali menggoda. Katanya, Pak Fikri sudah sering dapat telepon, pasti pacarnya!
Hanya membalas dengan tatapan tajam saja, para mahasiswa tersebut sudah diam, kembali menekuri buku dan pura-pura menulis catatan demi menghindari kontak mata.
"Makan dulu, Nak. Abah masak ikan goreng sama lalapan."
Fikri baru selesai mandi ketika Abah memanggilnya untuk makan malam bersama. Lelaki itu mengangguk lalu menyusul, duduk di hadapan Abah dan mulai menyendok nasi.
"Agak gosong ikannya. Itu, pas dimasak malah meletup-letup, tak kirain ikannya hidup lagi," celetuk Abah kemudian terkekeh. "Biasanya Faza yang masak, atau mbaknya. Mereka jadi terbiasa masak setelahnya ibunya meninggal," lanjutnya.
Fikri mengangguk. Sebenarnya, ikan buatan Abah tidak dapat dikatakan gosong, hanya terlalu kering—tulang-tulangnya bahkan sudah bisa dicemil, tidak sampai berubah warna menjadi hitam. Tidak masalah, lelaki itu bukan pemilih makanan. Diberi izin tinggal sementara bersama Abah saja sudah sangat berterima kasih.
"Harusnya Abah nggak perlu masak, nanti biar saya belikan lauknya. Jadi ngerepotin Abah ini."
"Ya, ndak apa-apa. Dua malam kemarin, lho, kamu udah beliin Abah. Malam ini biar Abah masak aja, biar hemat."
Rendah hati, Abah selalu begitu. Setelahnya, mereka melahap makan malam dengan hangat. Celoteh Abah, nasihatnya, semua hal kecil yang dilakukan terasa hangat di hati Fikri. Ia senang ditemani makan malam seperti ini, rasanya seperti kembali memiliki ayah setelah entah sudah berapa lama ia kehilangan momen.
"Kamu apa ndak ada rencana buat balik, Nak? Kunjungi mbakmu."
"Nanti aja, Bah, setelah Papa pulang," jawab Fikri seadanya.
"Rame, lho, padahal. Kalau cuma sama Abah, ya, sepi gini."
Fikri tersenyum simpul. "Lebih tenang di sini, setidaknya." Begitulah jawaban Fikri.
Ia merasa tenang ketika Abah membangunkannya pukul enam pagi untuk sarapan dan bersiap mengerjakan aktivitas masing-masing, padahal ia sudah melek sejak azan Subuh karena mendengar gemericik wudu Abah.
Ia merasa tenang saat Abah mengantarkan hingga pintu pagar, menasihati untuk beramal baik ketika sedang bekerja, bukan hanya semata karena mengejar materi dan hasrat duniawi. Padahal, Abah tahu bahwa Fikri menyibukkan diri sebab ingin lari dari elegi masa lalu.
Ia merasa damai kala mendengar salam Abah terucap kala membuka pintu sepulang dari masjid. Ia senang saat berdua menghabiskan malam sambil memandang langit. Abah dengan tasbih di tangan kanan, Fikri dengan tatapan kagum pada atap bumi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
General Fiction(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...