"Temukan kebahagiaan di hatimu agar kamu temukan kebahagiaan di hati semua orang."
(Jaluluddin Rumi)
🕊
Fikri baru saja hendak mengucap salam ketika atensinya menangkap sosok Faza yang tengah terlelap di atas sofa ruang tamu. Pelan sekali, ia menutup pintu, sebisa mungkin mengindari derit benda tersebut agar tidak menginterupsi tidur sang istri. Demikian pula ketika mendekat, diperintahkan olehnya agar kakinya tidak berisik.
Tas selempang berisi laptop diletakkan di atas meja, kemudian lelaki jangkung yang dua bulan lagi akan menjadi seorang ayah itu berlutut di sebelah Faza yang tampak nyenyak sekali menyelam dalam mimpi. Fikri hanya bisa melengos ketika menyadari betapa tampak tidak nyaman posisi Faza saat ini. Bagaimana perempuan itu bisa lelap dengan posisi badan yang meliuk menyesuaikan bentuk sofa?
Wajah itu cantik seperti biasa, juga damai seperti aliran sungai jernih. Lelaki itu mengamati lekat-lekat wajah mungil istrinya, tidak pernah bosan dengan kegiatan tersebut walau sudah dilakukan beratus-ratus kali. Mata belok yang tertutup itu dibingkai bulu mata lentik, hidungnya kecil, dan pipinya tembam.
Setiap malam ketika ia pulang membawa beban, segala lelahnya secara ajaib hilang hanya karena melihat wajah Faza yang tertidur pulas. Fikri akan lebih senang jika perempuan itu menyambutnya, sebab siapa pun setuju bahwa senyuman Faza adalah obat terbaik yang dapat mengusir gundah. Namun, begini saja cukup. Ia sudah memiliki Faza, lebih dari cukup.
Tangannya terulur menyingkap beberapa helai rambut Faza yang jatuh di wajah. Perempuan itu sempat menggeliat, tetapi sedetik kemudian kembali tenang. Agaknya ia belum sadar bahwa orang yang sejak tadi ditunggu, kini sudah berada di hadapannya.
Aina Mafaza.
Nama itu menjadi nama paling berharga dalam hidup Fikri saat ini. Dulu, lelaki itu kerap mempertanyakan arti cinta, kemudian jika seseorang mencoba menjelaskan makna kata tersebut, lelaki itu mulai menyangkal. Ia tidak percaya. Tidak percaya pada bualan manusia. Manusia-manusia itu hanya menciptakan definisi sendiri. Hingga, Tuhan turun tangan mengajarinya langsung melalui Mafaza.
Tatapan lelaki itu pindah pada perut sang istri yang sudah sangat jelas terlihat menonjol. Ada kehidupan lain di sana, kehidupan yang dituntun oleh adanya rasa cinta. Makhluk yang kata Faza adalah anugerah, hadiah terbesar dari Tuhan. Maka, demi menyapa si kecil, Fikri menggeser posisi duduknya.
"Assalamu'alaikum," ujarnya sambil berbisik, lirih sekali.
Tidak ada yang bisa mendengar jawaban dari perut Faza, tetapi Fikri tersenyum. Ia tahu, bayi itu menjawabnya. Gerakan-gerakan samar dirasakan oleh Fikri melalui telapak tangannya yang tertempel di perut Faza.
"Kok belum tidur?" tanya Fikri lagi, tidak bosan mengajak berbicara.
"Oh, tungguin Ayah?" gumam lelaki itu geli. Hormon endorfin tampaknya bekerja cepat padanya, hingga sudut bibirnya melengkung tanpa ia sadari.
Entahlah. Rasanya aneh. Ada gelenyar hangat di dada lelaki itu ketika menyebutkan kata "ayah". Ada ikatan tidak tampak antara dirinya dan calon bayi mereka, yang membuat jantung Fikri berdebar, sebab tidak sabar menyambutnya di dunia. Namun, di saat bersamaan, lelaki itu selalu merasa gelisah.
Seketika, lelaki yang tadinya semangat mengajak berbicara dan antusias menunggu kehadiran anaknya, tiba-tiba menjadi murung. Simalakama sekali situasinya. Bagaimana ia bisa bahagia jika kelahiran bayinya akan membahayakan sang istri? Atau, bagaimana bisa ia bersedih saat keinginan Faza terkabul dan bayi itu lahir dengan selamat? Paradoks inilah yang sering kali menggerogoti kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
Tiểu Thuyết Chung(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...