Teori 10

14 8 9
                                    

Orang-orang yang mementingkan diri sendiri tidak memiliki kesempatan untuk mencintai orang lain. Lebih dari itu, mereka juga tidak memiliki kemampuan untuk mencintai dirinya sendiri.

(Erich Fromm)

🕊

"Jalannya jangan kayak pengantin, Mas. Cepetan!" seru Faza sambil berjalan terburu-buru tanpa melepaskan pegangan tangannya pada lengan baju Fikri.

Fikri mengernyitkan kening. Sebenarnya ia hendak berhenti, bertanya siapa sesungguhnya orang yang membuat Faza ingin cepat-cepat pergi. Namun, agaknya sedang tidak dalam waktu yang tepat. Sesekali lelaki itu melirik ke belakang, mereka berdua diikuti.

Fikri duduk di kursi kemudi, menghidupkan mesin tanpa banyak bertanya. Kaca mobilnya diketuk, tetapi Faza melarang untuk dibuka. Gadis itu seperti menulikan telinga, tak menanggapi lelaki yang tengah memohon waktu untuk berbicara dengannya.

"Bensin habis."

"Hah?" Mata Faza membulat. Fikri mengisyaratkan gadis itu untuk melirik jarum yang menunjukkan kadar bensin. Benar, sudah merah. "Kok mesti di saat yang kayak gini, sih? Mas Fikri nggak memperkirakan kadar bensin di tangki, ya?"

Lelaki jangkung itu melengos. Sebenarnya, ia sudah kira-kira akan sampai mana mobilnya bisa melaju dengan sisa bensin yang ada. Setidaknya, ia berencana masuk SPBU setelah mengantar Faza sampai di rumah. Namun, karena gadis itu mengajak ke Taman Pelangi, Fikri jadi lupa.

"Halo, Mas. Boleh tolong dibuka sebentar? Aku mau bicara sama Faza." Lelaki itu beralih mengetuk kaca di sebelah Faza.

"Dia siapa?"

"Mas Ghazi."

"Urusannya sama kamu apa?"

Faza memalingkan wajah alih-alih menjawab pertanyaan Fikri. Mukanya sudah memerah, matanya berembun. Jika melirik seseorang yang dipanggil Ghazi itu, mungkin air matanya akan luruh. Ia tidak ingin terlihat lemah saat ini.

"Hei. Saya nanya loh, ini."

Faza mencebik samar. "Bukan urusan Mas Fikri."

Fikri mencelos. Benar juga, bukan urusannya. Diliriknya sosok di luar mobil yang tak kunjung pindah tempat. Di lain sisi, Faza masih bergeming, bersedekap sambil menulikan telinga. Mengapa Fikri harus terjebak di antara dua orang itu?

"Eh, eh, kok kuncinya dibuka? Eh, tutup lagi, tutup!" seru Faza panik ketika kunci pintu mobilnya dibuka oleh Fikri.

"Urusan kalian berdua, kan? Karena bukan urusan saya, silakan selesaikan secepat mungkin. Kalau sempat, saya juga mau minta tolong sama dia untuk beli bensin," seloroh Fikri. Faza memberengut.

"Please, tutup lagi. Tutup lagi, ya? Nanti aku ceritain---"

"Faza." Belum selesai gadis itu bebicara, pintu mobil sudah dibuka oleh Ghazi. "Aku mau bicara, tolong dengerin. Em ... di sana?" Ghazi menunjuk ke arah bangku panjang yang tadi ditempat Faza dan Fikri.

"Nggak usah, di sini aja. Cepetan, aku buru-buru."

Ghazi mendengkus samar. Ditatapnya Faza lekat-lekat, tak peduli walau gadis itu membuang tatapan ke arah sebaliknya agar netra mereka tak saling bertemu. Fikri menunggu, tidak berniat keluar untuk memberi ruang bagi dua orang itu.

"Kenapa nomorku diblokir?" tanya Ghazi dengan nada frustrasi.

"Nggak baik komunikasi sama calon suami orang," jawab Faza sarkas. Arah atensinya masih sama, tidak berniat menatap wajah Ghazi.

Teori Cinta dari SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang