"Keberanian adalah pengertian dalam menghadapi ketakutan dan keyakinan.”
(Aristoteles)
🕊
"Mama, Eca pulang!" Chesa mengetuk pintu dengan rona ceria di wajahnya. Menunggu pintu dibuka, gadis kecil itu sesekali melirik Faza hanya untuk menunjukkan senyuman manisnya.
"Senyum terus, nih? Kenapa?"
Chesa terkekeh. "Kata Ibu Arin, kita harus sering senyum supaya orang yang lihat kita ikut bahagia," jawab gadis itu, tidak mengurangi intensitas tarikan simetris di wajahnya.
Faza berlutut, mengusap pelan pucuk kepala Chesa. Detik selanjutnya, ia menangkup wajah mungil gadis itu gemas, membuat bocah dengan seragam oranye itu tergelak. "Ibu langsung happy, loh, lihat senyumnya kamu," ungkap Faza kemudian mencubit ringan pipi tembam milik Chesa.
"Berarti bener kata Ibu Arin!" Chesa tampak begitu puas setelah membuktikan kebenaran dari ucapan gurunya. Faza mengangguk cepat, tentu saja demikian.
Selanjutnya, si gadis kecil kembali membalikkan badan menghadap pintu yang tidak kunjung dibuka. Ia mengetuknya sekali lagi, tidak lupa memanggil Elea. Hingga tiga menit lenggang, kening Faza mulai mengernyit.
"Mbak? Mbak El di dalam?" Kali ini, guru muda itu yang mengetuk. Ia masih berprasangka baik. Mungkin ketukan dari tangan mungil Chesa terdengar sangat samar hingga Elea tidak kunjung membuka pintu.
Ditunggu sebentar juga sama, tidak ada jawaban. Demi memastikan, Faza melirik ke bawah pohon mangga, mendapati motor milik Elea di sana. Itu artinya, Elea sedang ada di rumah. Sayup-sayup, ia mendengar cucuran air keran dari luar. Keran air menyala itulah yang membuatnya yakin bahwa ada Elea di dalam. Mereka tidak akan meninggalkan rumah dengan keran air yang menyala, bukan?
Entah dari mana asalnya, tiba-tiba perasaannya jadi tidak enak. Keningnya berkedut dalam sambil mengetuk pintu lebih keras, berharap ibu satu anak itu muncul untuk membukakan pintu. Ia tidak mungkin meninggalkan Chesa sendirian di luar rumah.
Chesa mendongak, menatap wajah Faza lantas tersenyum lagi kala menyadari ekspresi panik dari wajah gurunya. Gadis itu menurunkan ransel merah jambu yang ukurannya seperempat dari badan kecilnya. Selanjutnya, ia membuka ritsleting terluar, meraih sesuatu dari sana, dan menyerahkannya pada Faza. Itu kunci rumah.
"Mama selalu taruh ini di tas aku, Bu. Kata Mama, biar nanti kalau nggak ada yang bukain pintu, aku buka sendiri. Tapi, aku kan nggak nyampe, Bu. Bukanya juga gimana? Aku belum belajar," cerocos gadis itu setelah menyerahkan kunci rumah pada Faza.
Faza langsung membuka pintu, masuk tanpa salam, dan berlari ke belakang. Entahlah mengapa bisa insting gadis itu membawanya ke sana, ia hanya mengikuti kata hatinya. Chesa ikut mengekor setelah menutup pintu dan melempar tasnya ke sembarang arah.
Gadis itu terpaku ketika mendapati pintu kamar mandi yang terbuka setengah. Keran yang masih menyala menumpahkan air yang sudah memenuhi bak hingga sedikit meleber ke luar kamar mandi. Namun, yang membuat sendinya lemas saat ini adalah genangan air yang telah tercampur cairan pekat. Faza masih berusaha untuk berpikir positif hingga tangannya mendorong pintu agar terbuka lebih lebar.
Saat itu pula, ia langsung terduduk.
Elea di sana, entah sadar atau tidak. Posisinya terduduk bersandar. Bajunya basah, tercemar warna merah darah.
"Ibu ... Mama kenapa? Ma?" Suara Chesa menyadarkan gadis itu dari terpaku terhadap pemandangan di depannya.
"Chesa, telepon Paman, ya, cepat," titah Faza yang langsung direspons segera oleh Chesa. Gadis kecil itu langsung berlari ke arah meja telepon di sudut ruang keluarga, menekan nomor yang berurutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teori Cinta dari Semesta
General Fiction(On Going) Update = Sabtu Fikri tahu ia tidak pantas mengemis dalam doa. Hatinya butuh cinta, tetapi kepada siapa dia harus meminta? Jika pada lembaran suci saja ia tak percaya, di rumah mana ia bisa bertemu Sang Kuasa? Seperti menjadi gila yang bu...